ARTIKEL TENTANG ETIKA BISNIS
MEMBANGUN
DAN MENGEMBANGKAN ETIKA BISNIS DALAM PERUSAHAAN
Di Indonesia tampaknya masalah penerapan etika perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata. Pada umumnya baru sampai tahap pernyataan-pernyaaatn atau sekedar “lips-service” belaka. Karena memang enforcement dari pemerintah pun belum tampak secara jelas.
Sesungguhnya Indonesia harus lebih awal menggerakan penerapan etika bisnis secara intensif terutama setelah tragedi krisis ekonomi tahun 1998. Sayangnya bangsa ini mudah lupa dan mudah pula memberikan maaf kepada suatu kesalahan yang menyebabkan bencana nasional sehingga penyebab krisis tidak diselesaikan secara tuntas dan tidak berdasarkan suatu pola yang mendasar. Sesungguhnya penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi, adalah tidak berfungsinya praktek etika bisnis secara benar, konsisten dan konsekwen. Demikian pula penyebab terjadinya kasus Pertamina tahun (1975), Bank Duta (1990) adalah serupa.
Praktek penerapan etika bisnis yang paling sering kita jumpai pada umunya diwujudkan dalam bentuk buku saku “code of conducts” atau kode etik dimasing-masing perusahaan. Hal ini barulah merupakan tahap awal dari praktek etika bisnis yakni mengkodifikasi-kan nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis bersama-sama corporate-culture atau budaya perusahaan, kedalam suatu bentuk pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan kegiatan bisnis.
Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal) tidak tergantung pada kedudukani individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan “grey-area” yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Menurut Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988) yang berjudul Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, membedakan antara ethics, morality dan law sebagai berikut :
- • Ethics is defined as the consensually accepted standards of behavior for an occupation, trade and profession
- • Morality is the precepts of personal behavior based on religious or philosophical grounds
- • Law refers to formal codes that permit or forbid certain behaviors and may or may not enforce ethics or morality.
Berdasarkan
pengertian tersebut, terdapat tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah
laku etika kita :
- Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensi nya. Oleh karena itu dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
- Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuan nya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
- Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Dari
pengelompokan tersebut Cavanagh (1990) memberikan cara menjawab permasalahan
etika dengan merangkum dalam 3 bentuk pertanyaan sederhana yakni :
- • Utility : Does it optimize the satisfactions of all stakeholders ?
- • Rights : Does it respect the rights of the individuals involved ?
- • Justice : Is it consistent with the canons oif justice ?
Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting saat ini? Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen.
Contoh kasus Enron yang selain menhancurkan dirinya telah pula menghancurkan Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen yang memiliki reputasi internasional, dan telah dibangun lebih dari 80 tahun, menunjukan bahwa penyebab utamanya adalah praktek etika perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya karena lemahnya kepemimpinan para pengelolanya. Dari pengalaman berbagai kegagalan tersebut, kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh cahaya dan kilatan suatu perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, karena berkilat belum tentu emas.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :
- • Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
- • Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.
- • Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga
- • Akan meningkatkan keunggulan bersaing.
Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yany tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :
- • Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
- • Memperkuat sistem pengawasan
- • Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.
Ketentuan
tersebut seharusnya diwajibkan untuk dilaksanakan, minimal oleh para pemegang
saham, sebagaimana dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di NYSE ( antara
lain PT. TELKOM dan PT. INDOSAT) dimana diwajibkan untuk membuat berbagai
peraturan perusahaan yang sangat ketat sesuai dengan ketentuan dari Sarbannes
Oxley yang diterbitkan dengan maksud untuk mencegah terulangnya kasus Enron dan
Worldcom.
Kesemuanya itu adalah dari segi korporasi, bagaimana penerapan untuk individu dalam korporasi tersebut ? Anjuran dari filosuf Immanual Kant yang dikenal dengan Golden Rule bisa sebagai jawabannya, yakni :
Kesemuanya itu adalah dari segi korporasi, bagaimana penerapan untuk individu dalam korporasi tersebut ? Anjuran dari filosuf Immanual Kant yang dikenal dengan Golden Rule bisa sebagai jawabannya, yakni :
- • Treat others as you would like them to treat you
- • An action is morally wrong for a person if that person uses others, merely as means for advancing his own interests.
Apakah untuk masa depan etika perusahaan ini masih diperlukan ? Bennis, Spreitzer dan Cummings (2001) menjawab “ Young leaders place great value on ethics. Ethical behavior was identified as a key characteristic of the leader of the future and was thought to be sorely lacking in current leaders.”
Dan kasus Enron pun merupakan pukulan berat bagi sekolah-sekolah bisnis karena ternyata etika belum masuk dalam kurikulum misalnya di Harvard Business School. Sebelumnya mahasiswa hanya beranggapan bahwa “ethics as being about not getting caught rather than how to do the right thing in the first place”.
sumber: http://kolom.pacific.net.id/ind/setyanto_p._santosa/artikel_setyanto_p._santosa/membangun_dan_mengembangkan_etika_bisnis_dalam_perusahaan.html
Artikel Hukum
Bisnis
Mediasi
Perbankan sebagai wujud Perlindungan Nasabah Bank
I. Pendahuluan
Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menjalankan usahanya terutama dari dana masyarakat dan kemudian menyalurkan kembali kepada masyarakat. Selain itu, bank juga memberikan jasa-jasa keuangan dan pembayaran lainnya. Dengan demikian ada dua peranan penting yang dimainkan oleh bank yaitu sebagai lembaga penyimpan dana masyarakat dan sebagai lembaga penyedia dana bagi masyarakat dan atau dunia usaha.
Bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menjalankan usahanya terutama dari dana masyarakat dan kemudian menyalurkan kembali kepada masyarakat. Selain itu, bank juga memberikan jasa-jasa keuangan dan pembayaran lainnya. Dengan demikian ada dua peranan penting yang dimainkan oleh bank yaitu sebagai lembaga penyimpan dana masyarakat dan sebagai lembaga penyedia dana bagi masyarakat dan atau dunia usaha.
Dengan demikian Perbankan memiliki fungsi penting
dalam perekonomian negara.[1]
Perbankan mempunyai fungsi utama sebagai intermediasi, yaitu penghimpun dana
dari masyarakat dan menyalurkannya secara efektif dan efisien pada
sektor-sektor riil untuk menggerakkan pembangunan dan stabilitas perekonomian
sebuah negara. Dalam hal ini, bank menghimpun dana dari masyarakat berdasarkan
asas kepercayaan dari masyarakat. Apabila masyarakat percaya pada bank, maka
masyarakat akan merasa aman untuk menyimpan uang atau dananya di bank. Dengan
demikian, bank menanggung risiko reputasi atau reputation risk yang
besar. Bank harus selalu menjaga tingkat kepercayaan dari nasabah atau
masyarakat agar menyimpan dana mereka di bank, dan bank dapat menyalurkan dana
tersebut untuk menggerakkan perekonomian bangsa.
Dalam dunia perbankan, nasabah merupakan konsumen
dari pelayanan jasa perbankan. Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan
pelayanan jasa perbankan, berada pada dua posisi yang dapat bergantian sesuai
dengan sisi mana mereka berada.[2]
Dilihat dari sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada bank
baik sebagai penabung deposan, maupun pembeli surat berharga, maka pada saat
itu nasabah berkedudukan sebagai kreditur bank. Sedangkan pada sisi penyaluran
dana, nasabah peminjam berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur.
Dari semua kedudukan tersebut, pada dasarnya
nasabah merupakan konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa di sektor
usaha perbankan.
Fungsi lembaga perbankan sebagai perantara
pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana membawa konsekuensi pada timbulnya
interaksi yang intensif antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabah sebagai
konsumen pengguna jasa perbankan. Dalam interaksi yang demikian intensif antara
bank dengan nasabah, mungkin saja terjadi friksi yang apabila tidak segera
diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan bank.
Timbulnya friksi tersebut terutama disebabkan
oleh empat hal yaitu:[3]
- Informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank;
- Pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk serta jasa perbankan yang masih kurang;
- Ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana;
- Tidak adanya saluran memadai untuk memfasilitasi penyelesaian friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank.
Perlindungan nasabah merupakan tantangan
perbankan yang berpengaruh secara langsung terhadap sebagian besar masyarakat.
Oleh karena itu menjadi tantangan yang sangat besar bagi perbankan dan Bank
Indonesia untuk menciptakan standar yang jelas dalam memberikan perlindungan
kepada nasabah.
II. Perlindungan Nasabah
Nasabah merupakan konsumen dari pelayanan jasa
perbankan, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu tuntutan tidak boleh
diabaikan begitu saja.
Dalam dunia perbankan, pihak nasabah merupakan
unsur yang sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia perbankan bersandar
kepada kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah.[4]
Kedudukan nasabah dalam hubungannya dengan jasa
perbankan, berada pada dua sisi yang dapat bergantian sesuai dengan sisi mana
berada. Dilihat pada sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan dananya pada
bank baik sebagai penabung, deposan maupun pembeli surat berharga (obligasi
atau commercial paper) maka pada saat itu nasabah berkedudukan sebagai
debitur dan bank sebagai kreditur. Dalam pelayanan jasa perbankan lainnya
seperti dalam pelayanan bank garansi, penyewaan save depostie box,
transfer uang, dan pelayanan lainnya, nasabah mempunyai kedudukan yang berbeda
pula. Tetapi dari semua kedudukan tersebut pada dasarnya nasabah merupakan
konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa di sektor perbankan[5].
Fokus persoalan perlindungan nasabah tertuju pada
ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketentuan perjanjian yang mengatur
hubungan antara bank dengan nasabah dapat terwujud dari suatu perjanjian, baik
perjanjian yang berbentuk akta di bawah tangan maupun dalam bentuk otentik.
Dalam konteks inilah perlu pengamatan yang baik untuk menjaga suatu bentuk
perlindungan bagi konsumen namun tidak melemahkan kedudukan posisi bank, hal
demikian perlu mengingat seringnya perjanjian yang dilaksanakan antara bank
dengan nasabah telah dibakukan dengan suatu perjanjian baku[6].
Sisi lain yang menjadi fokus perlindungan
konsumen dalam sektor jasa perbankan, yaitu pelayanan di bidang perkreditan.
Hal-hal yang menjadi perhatian untuk perlindungan konsumen, yaitu pada proses
yang harus ditempuh, dan warkat-warkat yang digunakan dalam pemberian krdit
tersebut. Tidak kalah pentingnya pula yaitu saat pengikatan hukum antara bank
dengan nasabah dimana secara hukum biasanya menyangkut dua macam pengikatan
berupa: perjanjian kredit dan perjanjian tambahan yakni perjanjian mengikuti
perjanjian pokok berupa suatu perjanjian penjaminan[7].
Lembaga perbankan adalah lembaga yang
mengandalkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian guna tetap mengekalkan
kepercayaan masyarakat terhadap bank, pemerintah berusaha melindungi masyarakat
dari tindakan lembaga, ataupun oknumnya yang tidak bertanggungjawab, dan
merusak sendi kepercayaan masyarakat.
Bank Indonesia sebagai pelaksana otoritas moneter
mempunyai peranan yang besar dalam usaha melindungi, dan menjamin agar nasabah
tidak mengalami kerugian akibat tindakan bank yang salah. Hal-hal yang
menyangkut dengan usaha perlindungan nasabah diantaranya berupa laporan dan
data-data yang merupakan bahan informasi.
Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri
perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan
nasabah dalam hubungannya dengan bank.
Berbagai regulasi dalam bidang perbankan mengenai
perlindungan nasabah bank diantaranya adalah Penerbitan Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang “Transparansi
Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” dan PBI No.
7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang “Penyelesaian Pengaduan Nasabah”
dan PBI No.8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang “Media Perbankan”.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah
melalui Bank Indonesia mulai memperhatikan kepentingan nasabah dalam konteks
perlindungan nasabah bank yang sebelumnya cenderung terabaikan, baik oleh
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan maupun tidak optimalnya pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mensyaratkan
adanya keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga
tercipta perekonomian yang sehat, dalam konteks ini termasuk dalam hubungan
antara bank sebagai pelaku usaha dengan nasabahnya.
Mengingat pentingnya perlindungan nasabah
tersebut, Bank Indonesia menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai salah
satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API merupakan suatu
kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang terdiri dari enam pilar,
bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk dan tatanan pada industri
perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan.
Arah kebijakan pengembangan industri perbankan
tersebut dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat
dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Enam pilar dalam API adalah:
- Struktur perbankan yang sehat
- Sistim pengaturan yang efektif
- Sistim pengawasan yang independen dan efektif
- Industri perbankan yang kuat
- Infrastruktur pendukung yang mencukupi
- Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan nasabah dalam Pilar ke VI API
dituangkan dalam empat aspek yang terkait satu sama lain dan secara
bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan hak-hak
nasabah. Empat aspek tersebut adalah[8]:
1. Penyusunan standar mekanisme pengaduan
nasabah;
2. Pembentukan lembaga mediasi perbankan;
3. Penyusunan standar transparansi
informasi produk, dan
4. Peningkatan edukasi untuk nasabah.
Program penyusunan mekanisme pengaduan nasabah di
bank dan program pembentukan lembaga mediasi independen ditujukan untuk
mengatasi permasalahan antara nasabah dengan bank yang saat ini sudah terjadi,
sedangkan program penyusunan standar transparansi informasi produk perbankan
ditujukan sebagai sarana awal untuk mencegah timbulnya permasalahan antara
nasabah dengan bank. Khusus untuk program edukasi nasabah, pelaksanaannya
dirasakan perlu diperluas hingga mencakup mereka yang belum dan akan menjadi
nasabah bank agar pada saat pertama kali berhubungan dengan bank para calon
nasabah tersebut sudah memiliki informasi yang cukup mengenai kegiatan usaha
serta produk dan jasa bank.
Edukasi masyarakat di bidang perbankan pada
dasarnya merupakan pemberian informasi dan pemahaman kepada masyarakat mengenai
fungsi dan kegiatan usaha bank, serta produk dan jasa yang ditawarkan bank. Pemberian
Edukasi ini diharapkan dapat memfasilitasi pemberian informasi yang cukup
kepada masyarakat sebelum mereka melakukan interaksi dengan bank. Dengan
demikian akan terhindar adanya kesenjangan informasi pada pemanfaatan produk
dan jasa perbankan yang dapat menyebabkan timbulnya permasalahan antara bank
dengan nasabah di kemudian hari.
III. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
Proses mediasi perbankan merupakan kelanjutan
dari pengaduan nasabah apabila nasabah merasa tidak puas atas penanganan dan
penyelesaian yang diberikan bank. Dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan
seringkali hak-hak nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik sehingga
menimbulkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan munculnya
pengaduan nasabah.
Apabila pengaduan nasabah tidak diselesaikan
dengan baik oleh bank, maka berpotensi menjadi perselisihan atau sengketa
antara nasabah dengan bank cenderung berlarut-larut. Hal ini antara lain
ditunjukkan dengan cukup banyaknya keluhan-keluhan nasabah di berbagai media.
Munculnya keluhan-keluhan yang tersebar pada publik melalui berbagai media
tersebut dapat menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi
menurunkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan.
Untuk mengurangi publikasi negatif terhadap
operasional bank dan menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian pengaduan
nasabah secara efektif dalam jangka waktu yang memadai, maka Bank Indonesia
menetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian Pengaduan
Nasabah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank.
Tetapi Penyelesaian pengaduan nasabah oleh
bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 ini tidak
selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dikarenakan tidak
terpenuhinya tuntutan nasabah bank baik seluruhnya maupun sebagian sehingga
berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank.
Dalam praktek dikenal berbagai bentuk
penyelesaian sengketa perdata seperti litigasi, arbitrase dan/atau Mediasi.
Namun, pihak-pihak yang bersengketa umumnya lebih banyak memilih penyelesaian
melalui proses litigasi di Pengadilan Negeri, baik melakukan tuntutan secara
perdata maupun secara pidana. Namun terdapat banyak kendala yang sering dihadapi.
Kendala tersebut antara lain lamanya penyelesaian
perkara, serta putusan yang dijatuhkan seringkali mencerminkan tidak adanya unified
legal work dan unified legal opinion antara Pengadilan Negeri,
Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung[9].
Oleh karena itu, diatur mengenai alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Di antaranya adalah arbitrase dan
mediasi seperti yang diatur dalam UU No.30 tahun 1999. Pengaturan Mediasi di
pengadilan diatur dalam Perma No.2 tahun 2003. Sedangkan Mediasi Perbankan
diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006. Pada PBI No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan dinyatakan bahwa sampai dengan akhir tahun 2007 pelaksanaan fungsi
mediasi perbankan akan dilakukan oleh Bank Indonesia.
Menurut Peraturan
Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006, maka yang dimaksud dengan Mediasi Perbankan
adalah alternatif penyelesaian sengketa antara Nasabah dan Bank yang tidak
mencapai penyelesaian yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang
bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela
terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan.
Hal-hal yang diatur dalam Mediasi Perbankan
adalah:
1. Nasabah atau perwakilan nasabah dapat
mengajukan upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi ke BI apabila nasabah
merasa tidak puas atas penyelesaian pengaduan nasabah;
2. Sengketa yang dapat diajukan
penyelesaiannya adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan
yang memiliki tuntutan finansial paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus
juta rupiah). Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang
diakibatkan oleh tuntutan immaterial;
3. Pengajuan penyelesaian sengketa tidak
melebihi 60 (enam puluh hari) kerja saat tanggal surat hasil penyelesaian
pengaduan yang disampaikan bank kepada nasabah;
4. Pelaksaan proses mediasi sejak ditandatanganinya
perjanjian mediasi samapi dengan penandatanganan Akta Kesepakatan oleh para
pihak dilaksanakan dalam waktu 30 hari kerja dan dapat diperpanjang sampai
dengan 30 hari berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah dan bank;
5. Akta kesepakatan dapat memuat
menyeluruh, kesepakatan sebagian, atau tidak tercapainya kesepakatan atau kasus
yang disengketakan.
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi, para
pihak biasanya mampu mencapai kesepakatan di antara mereka, sehingga manfaat
mediasi dapat dirasakan. Beberapa keuntungan mediasi adalah sebagai berikut:
1. Mediasi dapat menyelesaikan sengketa
dengan cepat, biaya murah dibandingkan dengan proses beracara di Pengadilan
atau melalui Arbitrase. Dalam proses mediasi tidak diperlukan gugatan ataupun
biaya untuk mengajukan banding sehingga biayanya lebih murah
2. Mendorong terciptanya iklim yang
kondusif bagi para pihak yang bersengketa tetap menjaga hubungan kerjasama
mereka yang sempat terganggu akibat terjadinya persengketaan diantara mereka.
3. Proses mediasi lebih bersifat informal
dan menghasilkan putusan yang tidak memihak.
IV. Lembaga Mediasi Perbankan Independen di Indonesia
Sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 PBI No 8/5/PBI/2006,
yang membentuk lembaga mediasi perbankan independen adalah asosiasi perbankan.
Asosiasi perbankan yang membentuk lembaga mediasi perbankan independen dapat
terdiri dari gabungan asosiasi perbankan untuk menjaga independensinya. Selain
dapat pula dilakukan perekrutan dari kalangan bankir.
Bank Indonesia (BI) harus mewajibkan seluruh bank
untuk menjadi anggota dari lembaga mediasi perbankan. Agar mempunyai kekuatan
hukum mengikat maka BI perlu membuat PBI tentang kewajiban Bank menjadi anggota
lembaga mediasi. Kemudian untuk menjaga kualitas dari lembaga mediasi perbankan
ini, maka BI dapat memberi akreditasi pada lembaga mediasi perbankan indonesia
tersebut. Lembaga Mediasi mempunyai kewajiban melaporkan secara berkala pada BI
mengenai sengketa yang pernah dimediasikan.
Kemudian dari laporan tersebut BI dapat mengevaluasi
kinerja dari lembaga mediasi perbankan indpendent tersebut dan memberikan
akreditasinya. Untuk prosedur akreditasi, maka BI perlu membentuk PBI tentang
akreditasi.
Dalam Lembaga mediasi ini harus ada
mediator independen yang dapat memberikan saran sesuai dengan profesinya
masing-masing, misalnya ada konflik antara nasabah dengan bank mengenai masalah
hukum, maka harus ada seorang mediator yang ahli di bidang hukum perbankan.
Kemudian lembaga ini harus berfungsi seperti
arbitrase sehingga keputusannya mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh karena
itu, hasil dari kesepakatan kedua belah pihak kemudian didaftarkan pada
Pengadilan negeri agar mempunyai kekuatan hokum mengikat.
Dalam mendirikan mediasi perlu diadakan
segmentasi mediasi perbankan agar tercipta parallel institution
lembaga mediasi perbankan sehingga masyarakat dapat memilih lembaga mana yang
mereka pilih untuk menyelesaikan sengketa.
Dengan demikian pembentukan mediasi perbankan
diharapkan akan memberikan nilai positif baik bagi nasabah maupun bank, yaitu
seperti terciptanya kepastian penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank.
Melalui mediasi perbankan ini juga akan mendorong terciptanya keseimbangan
hubungan antara posisi nasabah dengan bank.
Tetapi dalam mendirikan Lembaga Mediasi ini
terdapat beberapa kendala antara lain masalah dana. Dana yang diperlukan untuk
mendirikan lembaga mediasi perbankan independen tersebut tentu sangat besar.
Pada awalnya, lembaga mediasi perbankan tersebut memerlukan dana operasional.
Apabila biaya ini dibebankan pada bank sebagai anggota dari lembaga mediasi
perbankan, tentu sangat sulit. Saat ini bank di Indonesia sedang giat-giatnya
melakukan konsolidasi internal untuk memenuhi modal dan sertifikasi para
bankir. Hal ini menyebabkan konsentrasi modal bank diprioritaskan untuk bank
itu sendiri. Dari permasalahan tersebut terdapat pemikiran apa tidak sebaiknya
mediasi perbankan ini dijalankan oleh BI saja. Selama ini sebelum terbentuknya
lembaga mediasi perbankan independen, mediasi perbankan dijalankan oleh BI. BI
telah mempunyai sarana dan prasarana yang memadai, pendanaan yang cukup dan
sumber daya berupa mediator yang memperoleh pelatihan dan sertifikasi sebagai
mediator dan mempunyai latar belakang perbankan.
V. Penutup
Keberadaan lembaga mediasi perbankan merupakan
sebuah bentuk perlindungan terhadap konsumen. Hal ini merupakan salah satu
langkah kebijakan yang akan diterapkan Bank Indonesia (BI) yang tertuang dalam
Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Keberadaan lembaga tersebut merupakan
suatu terobosan seperti di negara lain karena Indonesia ingin memberdayakan
nasabah perbankan dengan memberikan perlindungan kepada nasabah.
Kehadiran mediasi perbankan sangat penting. Hal
ini dikarenakan perbankan merupakan lembaga yang sangat mengandalkan kepercayaan
dari masyarakat luas. Masyarakat mengandalkan jasa bank dilandasi rasa
kepercayaan. Oleh karena itu, kepercayaan dari masyarakat harus tetap terjaga.
Keberadaan Lembaga Mediasi independen ini akan
memberikan manfaat baik bagi nasabah maupun bank.
end note
--------------------------- ]
Pustaka
”Arsitektur Perbankan Indonesia.”
//www.BI.go. id/API,html>. Diakses 27 November 2007.
Burhanuddin Abdullah. Jalan Menuju Stabilitas
Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Jakarta : Pustaka LP3ES
Indonesia, 2006)
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di
Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2003)
Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern Buku
Kesatu. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Muliaman D. Hadad , “Perlindungan dan
Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia,” Http://www.bi.go,id, diakses tgl 19 Nov 2007
Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi
Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar Hukum Eksekusi
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996)
[1]
Burhanuddin Abdullah, Jalan Menuju Stabilitas Mencapai Pembangunan Ekonomi
Berkelanjutan (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 2006) hal 2003.
[2]
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung: PT Citra
Aditya Bhakti, 2003)., Hal 282
[3]
Muliaman D. Hadad (a), “Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam
Arsitektur Perbankan Indonesia,” Http://www.bi.go,id,
diakses tgl 19 Nov 2007
[4]
M. Djumhana, Opcit, hal 282.
Nama: Malindo
- :