- Dari
- Ke
Analisis Ekonomi Atas Perkembangan Hukum Bisnis Indonesia
Suatu
masyarakat yang sehat cenderung memilih atau menciptakan hukum-hukum yang dapat
mempromosikan efisiensi ekonomi. Untuk mengukur apakah hukum yang dipilih atau
diciptakan turut mempromosikan efisiensi ekonomi, maka diperlukan pendekatan
terhadap hukum yang tidak semata-mata hukum an sich. Oleh karena itu tulisan
ini membahas suatu pendekatan terhadap hukum yang semakin hari semakin
berkembang, yakni “Economic Analysis of Law”.
Dalam
tulisan ini juga dikemukakan perkembangan Economic Analysis of Law di
Indonesia, serta beberapa contoh aplikasi, sehingga dapat dilihat bahwa
pendekatan ekonomi atas hukum memang relevan dan bermanfaat bagi perkembangan
hukum di Indonesia. Dalam hal ini secara umum fokus pembahasannya adalah
mengenai fenomena-fenomena yang menjadi kecenderungan di bidang hukum bisnis,
yang secara implisit maupun eksplisit dapat menimbulkan ketidakefisienan (inefficient).
Kecenderungan-kecenderungan tersebut berkenaan dengan diwajibkannya pelibatan
profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan
perundang-undangan, ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga
pendukung di bidang hukum bisnis, serta adanya ketidakharmonisan antar
peraturan perundang-undangan.
Analisis Ekonomi Atas Hukum
Bidang
Analisis Ekonomi Atas Hukum, atau yang umumnya dikenal sebagai “Economic
Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui pemikiran utilitarianisme
Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara sistemik bagaimana orang bertindak
berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan mengevaluasi hasil-hasilnya
menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social
welfare). Pemikiran utilitarianisme hukum Bentham tersebut tersebar
dalam tulisan-tulisannya berupa analisis atas hukum pidana dan penegakannya,
analisis mengenai hak milik (hukum kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas
proses-proses hukum. Namun pemikiran ala Bentham tersebut mandeg sampai tahun
1960-an, dan baru berkembang pada awal tahun 1970-an, dengan dipelopori oleh
pemikiran-pemikiran dari Ronald Coasei (1960), dengan artikelnya yang membahas
permasalahan eksternalitas dan tanggung jawab hukum; Becker (1968), dengan
artikelnya yang membahas kejahatan dan penegakan hukum; Calabresi (1970),
dengan bukunya mengenai hukum kecelakaan; dan Posner (1972), dengan buku
teksnya yang berjudul “Economic Analysis of Law” dan penerbitan “Journal of
Legal Studies”.ii
Secara
garis besar Analisis Ekonomi Atas Hukum menerapkan pendekatannya untuk
memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan dasar mengenai aturan-aturan
hukum. Yakni analisis yang bersifat ‘positive’ atau ‘descriptive’, berkenaan
dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan hukum terhadap tingkah laku orang
yang bersangkutan (the
identification of the effects of a legal rule); dan analisis yang
bersifat ‘normative’, berkenaan dengan pertanyaan apakah pengaruh dari
aturan-aturan hukum sesuai dengan keinginan masyarakat (the social desirability of a legal
rule). Pendekatan yang dipakai Analisis Ekonomi Atas Hukum terhadap
dua permasalahan dasar tersebut, adalah pendekatan yang biasa dipakai dalam
analisis ekonomi secara umum, yakni menjelaskan tingkah laku, baik manusia
secara perorangan maupun perusahaan-perusahaan, yang berwawasan ke depan
(forward looking) dan rasional, serta mengadopsi kerangka kesejahteraan ekonomi
untuk menguji keinginan masyarakat.iii
Steven
Shavell, professor di Harvard Law School, menjelaskan lebih lanjut mengenai
analisis yang bersifat deskriptif dan normatif dari Analisis Ekonomi Atas Hukum
dengan mengemukakan manfaat atau tujuan akhir dari analisis dimaksud. Dengan
analisis deskriptif dapat dikatakan rasional, bilamana orang bertindak untuk
memaksimalkan tujuan atau keuntungan yang diharapkannya. Sebagai contoh adalah
pertanyaan mengapa orang sangat berhati-hati dalam mengendarai kendaraannya,
walaupun misalnya orang tersebut mempunyai asuransi, dapat dijawab dengan
kemungkinan bahwa ia tidak mau mengalami luka akibat kecelakaan, adanya
ketentuan mengenai tanggung jawab atau adanya resiko diajukan ke pengadilan.
Sedangkan dengan analisis normatif dapat diterangkan bahwa satu aturan hukum tertentu
lebih baik dari aturan hukum lain bilamana memberikan level tertinggi bagi
ukuran kesejahteraan sosial. Contoh yang dapat diberikan misalnya bilamana
masyarakat menghendaki untuk meminimalisasi jumlah kecelakaan lalu lintas, maka
aturan hukum yang terbaik adalah yang memberikan hukuman atau sanksi bagi
penyebab-penyebab kecelakaan.iv
Perkembangannya
sekarang, Analisis Ekonomi Atas Hukum tidak terbatas pada dua permasalahan
dasar sebagaimana dijelaskan di muka, namun meluas pada setiap penggunaan prinsip-prinsip
ekonomi terhadap permasalahan-permasalahan hukum dan kebijakan publik. Hal ini
dapat dilihat dari pengertian Economic Analysis of Law yang diberikan oleh
William and Mary School of Law dalam ensiklopedia onlinenya sebagai berikut :
“A study of many applications of economic reasoning to problems of
law and public policy including economic regulation of business; antitrust
enforcement; and more basic areas such as property rights, tort and contract
law and remedies, and civil or criminal procedures. No particular background in
economics is required; relevan economic concepts will developed through
analysis of various legal applications.”v
Perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum Di Indonesia
Tidak
dapat dipungkiri bahwa unsur ekonomi dalam pembuatan kebijakan, baik pada
tingkat pembentukan, implementasi maupun enforcement peraturan
perundang-undangan telah sangat berpengaruh di Indonesia. Secara resmi
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan salah satu arah Kebijakan
Program Pembangunan Nasional Bidang Hukum, yakni mengembangkan peraturan
perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era
perdagangan bebas. Tentunya arah kebijakan tersebut merupakan satu indikator
kuatnya pengaruh atau tujuan ekonomi dalam perkembangan hukum di Indonesia.
Memang
secara teoritis konseptual, aliran Analisis Ekonomi Atas Hukum belum fenomenal
dan melembaga di Indonesia, sebagaimana menimpa juga aliran-aliran hukum lain.
Sehubungan dengan gejala tersebut, relevan mengemukakan pendapat Ifdhal Kasim,
bahwa di Indonesia kajian-kajian yang merupakan kritik-teori atau doktrin atas
suatu paradigma atau pendekatan tertentu dalam kajian hukum kurang berkembang.
Ahli-ahli hukum di Indonesia kurang bergairah dalam melakukan penjelajahan
teoritis atas berbagai paradigma dalam ilmu hukum atau taking doctrine
seriously.vi Meskipun
demikian perbincangan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum bukannya sama sekali
tidak ada. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam teks oratio dies Universitas
Katolik Parahyangan Bandung pada tahun 1995, dengan mengemukakan kerangka
berpikir :
1.
Berdasarkan pengamatan empiris
upaya perlindungan lingkungan yang hanya digantungkan pada penggunaan instrumen
hukum (legal instruments) terbukti kurang efektif.
2.
Praktek-praktek perlindungan
lingkungan di negara lain, ternyata sudah menerapkan konsep mixed-tools of
compliance, dimana instrumen ekonomi (economic instruments) merupakan salah
satu insentif yang membuat potensial pencemar mematuhi ketentuan Hukum
Lingkungan.
3.
Terdapat ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup yang memberikan dasar
hukum yang kuat untuk menerapkan konsep mixed-tools of compliance.vii
Konsern
atas pendekatan ekonomi terhadap hukum juga diberikan oleh Thee Kian Wie, yang
menekankan perlunya aspek ekonomi diperhatikan dalam implementasi UU No. 5/1999
dengan mengemukakan bahasan pengkategorian monopoli, persaingan tidak sehat,
kartel, price fixing, market division, merger, cross-shareholding, dan
sebagainya.viii Tidak
kalah menariknya juga pembahasan Heru Supraptomo terhadap Hukum Perbankan
dengan pendekatan ekonomi. Sambil mengutip pendapat Posner, ia menyatakan bahwa
:
“…, ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull
tool) untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang
terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini
belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun
dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan
dalam hukum perbankan.”ix
Berdasarkan
pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keinginan untuk
melibatkan prinsip atau teori ekonomi dalam perkembangan hukum di Indonesia
telah tampak, meskipun masih belum sebagaimana yang diharapkan. Kajian yang
semakin sadar dan berkesinambungan tentunya akan lebih memberikan manfaat bagi
perancangan sistem hukum, pembentukan, penerapan dan enforcement peraturan
perundang-undangan, mengingat sebagaimana perkembangan di Amerika Serikat,
pendekatan ekonomi atas hukum telah menggejala di setiap bidang hukum.
Implementasi Dalam Hukum Bisnis
Guna
memperjelas pembahasan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum, terutama
implementasinya dalam bidang hukum bisnis di Indonesia, maka di bawah akan
dikritisi beberapa permasalahan yang aktual yang dihadapkan dengan prinsip
efisiensi ekonomi (economic
efficiency). Pemilihan prinsip efisiensi ini berdasarkan pada
kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan rumusan-rumusan teknis
ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang menjadi fokus perhatian adalah
berkenaan dengan kemungkinan munculnya ketidakefisienan (inefficiency) dari
pembentukan, penerapan maupun enforcement dari peraturan perundang-undangan.
Pertama
berkenaan dengan kecenderungan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu
dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan. Hal ini
misalnya terlihat dalam Pasal 5 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia (UUJF), yang mengharuskan dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan
Fidusia dengan akta notaris. Sutan Remy Sjahdeini memberikan komentar terhadap
pasal tersebut dengan mengatakan tidak jelasnya alasan harus dibuatnya
pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil, mengingat di dalam
praktik selama ini, perjanjian Fidusia cukup dibuat dengan akta di bawah
tangan.x
Bilamana
keharusan tersebut dihubungkan dengan kewajiban selanjutnya berupa pendaftaran
di Kantor Pendaftaran Fidusia, tentunya juga masih dapat dipertanyakan
kemanfaatan pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil tersebut
dibandingkan dengan pembebanan secara di bawah tangan. Secara ekonomis
pembebanan secara notariil akan sangat memberatkan para debitor, terutama bagi
debitor pengusaha lemah. Bahkan terjadi dalam praktik sekarang ini, walaupun
mengenai biaya pembuatan akta telah diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun
karena tidak ada pilihan lain kecuali memakai jasa notaris yang ijin prakteknya
di daerah yang bersangkutan, maka notaris tersebut dapat secara sewenang-wenang
untuk menetapkan besarnya biaya pembuatan akta.
Sebelumnya
berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT)
ditetapkan juga bahwa pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta
Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Alasan
penerapan ketentuan ini adalah bahwa PPAT merupakan pejabat umum yang berwenang
membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan
hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak di daerah kerjanya.
Terhadap
ketentuan UUHT inipun disampaikan kritik yang sama berkenaan dengan pembebanan
yang secara ekonomis memberatkan debitor pengusaha lemah. Menanggapi hal
tersebut melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-kredit Tertentu,
pemerintah memberikan kemungkinan bagi SKMHT jenis kredit tertentu berlaku
sampai berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Kecenderungan
tersebut juga terlihat dalam Rancangan Undang-undang Perkreditan Perbankan
(RUU-PP) yang dibuat oleh DPR, yang menetapkan bahwa akta perjanjian kredit
dibuat di hadapan notaris.xi Oleh
karena itu terdapat pandangan sinis di masyarakat dengan menyebutkan peraturan
perundang-undangan yang memuat ketentuan seperti itu sebagai hasil dari ‘Notaris
Connection”.
Kritik
inefisiensi terhadap notaris sebagaimana dibahas di atas juga menimpa profesi
hukum lain, yakni penasehat hukum. Pasal 5 Undang-undang Kepailitan, menetapkan
bahwa permohonan berkenaan dengan proses kepailitan harus diajukan oleh seorang
penasehat hukum yang memiliki izin praktek (dalam hal ini izin praktek
pengacara kepailitan). Permohonan tersebut antara lain berupa permohonan
pernyataan pailit, permohonan sita jaminan dan penunjukan kurator, permohonan
Kasasi, pengajuan Memori Kasasi, permohonan Peninjauan Kembali, permohonan
penangguhan sementara, pengangkatan penangguhan dan perubahan syarat-syarat
penangguhan, tuntutan pembatalan perdamaian, serta permohonan rehabilitasi di
bidang kepailitan. Alasan diwajibkannya penggunaan penasehat hukum yang
memiliki izin praktek tersebut, memang masuk di akal bilamana dihubungkan
dengan singkatnya waktu yang diperlukan dalam proses acara kepailitan serta
diperlukannya spesialisasi dan professionalitas pengacara kepailitan. Namun
ditinjau dari perspektif adanya pembatasan bagi kalangan tertentu untuk ikut
dalam ujian kepengacaraan, seperti kalangan internal corporate lawyer BUMN,
maka secara ekonomis bagi perusahaan-perusahaan BUMN, Pasal 5 Undang-undang
Kepailitan akan sangat memberatkan. Hal tersebut terjadi karena dianggapnya
pegawai BUMN sebagai Pegawai Negeri Sipil, sehingga tidak diperkenankan ikut
dalam ujian kepengacaraan. Padahal bilamana internal corporate lawyer BUMN
diperkenankan memiliki sertipikat pengacara kepailitan, maka proses acara
kepailitan tidak perlu diwakili oleh external corporate lawyer yang berbiaya tinggi.
Kedua
berkenaan dengan ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung
di bidang hukum bisnis. Misalnya pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU)xii, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)xiii,
dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)xiv yang dilakukan secara terpisah dan
berdiri sendiri-sendiri pada gilirannya akan menimbulkan pemborosan. Segala
biaya untuk pelaksanaan tugas lembaga-lembaga tersebut dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Padahal di Amerika Serikat sendiri
sebagai negara pelopor persaingan usaha sehat dan perlindungan konsumen, tugas
sebagaimana dibebankan kepada KPPU, BPKN dan BPSK dicakup atau merupakan tugas
satu lembaga yang bernama Federal Trade Commission (FTC). Sebagai bahan
perbandingan di bawah ini dikutipkan posisi dan tugas FTC antara lain sebagai
berikut :
“The basic objective of the FTC is to promote free and fair trade
competition in the American economy. … It provides guidance to business and
industry on what they may do under the laws administered by the commission. It
also gathers and makes available to Congress, the president, and the public
factual data on economic and business conditions.
The FTC consists of five commissioners who are appointed for 7-year terms by the president, with the advice and consent of the Senate. Not more than three of the commissioners may be members of the same political party. One commissioner is chosen as chair by the president.
The most prominent and active consumer protection agency this year was the Federal Trade Commission.”xv
The FTC consists of five commissioners who are appointed for 7-year terms by the president, with the advice and consent of the Senate. Not more than three of the commissioners may be members of the same political party. One commissioner is chosen as chair by the president.
The most prominent and active consumer protection agency this year was the Federal Trade Commission.”xv
Berdasarkan
pembahasan tersebut, maka pendekatan ekonomi relevan dikemukakan berkenaan
dengan gagasan pembentukan lembaga penunjang hukum bisnis, sehingga nilai
efisiensi dari pembentukan lembaga tersebut dapat dimaksimalisasi. Contohnya
bilamana suatu lembaga yang digagas, tugas-tugasnya mendekati atau dapat
dibebankan kepada lembaga yang sudah ada, maka tidak perlu membentuk lembaga
baru.
Permasalahan
lain yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah ketidakharmonisan antara satu
peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam
hal ini dapat dikemukakan misalnya adanya ketentuan hukum yang menyimpang dari
prinsip pokok pengembangan lembaga non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan
untuk menolak perkara dimana para pihak sendiri telah memilih penyelesaian
secara non-litigasi. Ketentuan tersebut tampak pada ketentuan Pasal 45 ayat (4)
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni yang
mengatur sebagai berikut :
“Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak
yang bersengketa.”
Pasal
seperti ini tidak memberikan kepastian hukum. Seyogyamya bila upaya
penyelesaian di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak, upaya tersebut
harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib untuk menolak
gugatannya. Ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menetapkan bahwa Pengadilan Negeri tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase.
Contoh
lain ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan yang dapat
menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen perusahaan. Pasal
11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, bertujuan
untuk mereformasi Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang dengan mengurangi
jangka waktu kewajiban menyimpan dokumen perusahaan yang tadinya 30 (tiga
puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh) tahun. Namun berhadapan dengan ketentuan
mengenai daluarsa, pembaruan jangka waktu tersebut menjadi tidak berarti.
Sehingga pilihan untuk memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan biaya dalam
pemeliharaan dokumen dengan kemungkinan memusnahkannya setelah lewat waktu 10
tahun, berhadapan dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar yang akan timbul
dari proses pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal tersebut ditambah dengan
kekakuan pengadilan dalam menerima bukti yang hanya berupa bukti-bukti tertulis
saja, sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam bentuk paperless media yang
juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan akan
semakin memperburuk kondisi inefisiensi.
Penutup
Dengan
memaparkan perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum, serta melibatkannya dalam
kebijakan dan praktik hukum di Indonesia, maka menjadi lebih terbuka
kemungkinan perubahan paradigma serta lebih banyak alternatif pemikiran yang
dapat disumbangkan dalam pengkajian hukum di Indonesia. Tulisan ini merupakan
pengantar bagi studi yang lebih jauh terhadap Analisis Ekonomi Atas Hukum,
namun demikan pada tingkatnya yang sangat minimal telah dapat memunculkan salah
satu kritik penting berkenaan dengan masalah economic efficiency yang secara
tidak sadar ada dalam perkembangan hukum bisnis di Indonesia. Oleh karena itu
relevan kiranya untuk masa yang akan datang, memfungsikan model Analisis
Ekonomi Atas Hukum disamping model teori hukum lain ke segenap proses hukum di
Indonesia, baik dalam tingkat pembentukan, penerapan atau penegakan hukum dan
dalam menganalisis doktrin serta menguji keabsahan suatu sistem sosial dan
kebijakan-kebijakan tertentu.
Kepustakaan
- Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, Newsletter Pusat Pengkajian Hukum, No. 28 - Tahun VIII, Jakarta, 1997.
- Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam Kajian Hukum di Indonesia, Wacana (Jurnal Ilmu Social Transformatif), Edisi 6, Tahun II, Jakarta, 2000.
- Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, National Bureau of Economic Research, Cambridge, 1999.
- Stefanus Haryanto, Pendekatan Ekonomi Dalam Upaya Perlindungan Lingkungan, teks oratio dies, Jakarta, 1995.
- Steven Shavell, Economic Analysis of Law, materi “Harvard University Online Course”, http://www.hls.edu/.
- Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, Jakarta, 2000.
- Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam Implementasi UU No. 5/1999, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, Jakarta, 1999.
Endnote
i)
Ronald Coase adalah pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi. Pendekatannya
terkenal dengan nama ‘the Coase Theorem’, yang memberi penafsiran baru terhadap
teori eksternalitas (externality), yakni berkenaan dengan analisis situasi di
mana tindakan seseorang mengakibatkan beban biaya (atau keuntungan) bagi orang
lain.
ii)
Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, National Bureau of
Economic Research, Cambridge, 1999, hal. 1.
iii)
Ibid., dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, materi “Harvard University
Online Course”, http://www.hls.edu/,
Chapter 1, hal. 1.
iv)
Steven Shavell, Economic Analysis of Law, Chapter 1, hal. 1.
v)
Definisi yang diberikan website resmi William and Mary School of Law, http://www.wm.edu/.
vi)
Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam Kajian Hukum di
Indonesia, Wacana (Jurnal Ilmu Social Transformatif), Edisi 6, Tahun II - 2000,
hal. 23.
vii)
Stefanus Haryanto, Pendekatan Ekonomi Dalam Upaya Perlindungan Lingkungan,
1995, hal. 2.
viii)
Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam Implementasi
UU No. 5/1999, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, 1999, hal 60.
ix)
Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, Newsletter Pusat
Pengkajian Hukum, No. 28/Tahun VIII/Maret/1997, Jakarta, hal. 4.
x)
Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang No. 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, 2000, hal. 43.
xi)
Pasal 27 Rancangan Undang-undang Perkreditan Perbankan (draft pertama).
xii)
Dibentuk berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
xiii)
Dibentuk berdasarkan Pasal 31 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
xiv)
Dibentuk berdasarkan Pasal 49 UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
xv)
Microsoft Encarta Reference Suite 2001, CD-ROM Encyclopedia.
Artikel Etika Bisnis (Tulisan)
Pengertian
Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti
watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat
dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos”
dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara
hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan
menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama
pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu
moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika
adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Etika adalah Ilmu yang
membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami
oleh pikiran manusia.
Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:
• Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).
• Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut:
Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:
• Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).
• Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut:
·
Terminius Techicus, Pengertian
etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang
mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
·
Manner dan Custom, Membahas etika
yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat
manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan
buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
Pengertian
dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya;
antara lain:
1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of the right)
2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions)
3. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual. (The science of human character in its ideal state, and moral principles as of an individual)
4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)
5. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah:
• Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
• Kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak
• Nilai mengenai yang benar dan salah yang dianut masyarakat.
Etika terbagi atas dua :
a. Manusia Etika umum ialah etika yang membahas tentang kondisi-kondisi dasar bagaimana itu bertindak secara etis. Etika inilah yang dijadikan dasar dan pegangan manusia untuk bertindak dan digunakan sebagai tolok ukur penilaian baik buruknya suatu tindakan.
b.Etika khusus ialah penerapan moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus misalnya olah raga, bisnis, atau profesi tertentu. Dari sinilah nanti akan lahir etika bisnis dan etika profesi (wartawan, dokter, hakim, pustakawan, dan lainnya).
Bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis dari bahasa Inggris business, dari kata dasar busy yang berarti “sibuk” dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Dalam ekonomi kapitalis, dimana kebanyakan bisnis dimiliki oleh pihak swasta, bisnis dibentuk untuk mendapatkan profit dan meningkatkan kemakmuran para pemiliknya. Pemilik dan operator dari sebuah bisnis mendapatkan imbalan sesuai dengan waktu, usaha, atau kapital yang mereka berikan. Namun tidak semua bisnis mengejar keuntungan seperti ini, misalnya bisnis koperatif yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan semua anggotanya atau institusi pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Model bisnis seperti ini kontras dengan sistem sosialistik, dimana bisnis besar kebanyakan dimiliki oleh pemerintah, masyarakat umum, atau serikat pekerja.
Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan. Kata “bisnis” sendiri memiliki tiga penggunaan, tergantung skupnya, penggunaan singular kata bisnis dapat merujuk pada badan usaha, yaitu kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang bertujuan mencari laba atau keuntungan. Penggunaan yang lebih luas dapat merujuk pada sektor pasar tertentu, misalnya “bisnis pertelevisian.” Penggunaan yang paling luas merujuk pada seluruh aktivitas yang dilakukan oleh komunitas penyedia barang dan jasa. Meskipun demikian, definisi “bisnis” yang tepat masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini. Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
a) Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
b) Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
c) Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang, karena :
1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of the right)
2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions)
3. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual. (The science of human character in its ideal state, and moral principles as of an individual)
4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)
5. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah:
• Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
• Kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak
• Nilai mengenai yang benar dan salah yang dianut masyarakat.
Etika terbagi atas dua :
a. Manusia Etika umum ialah etika yang membahas tentang kondisi-kondisi dasar bagaimana itu bertindak secara etis. Etika inilah yang dijadikan dasar dan pegangan manusia untuk bertindak dan digunakan sebagai tolok ukur penilaian baik buruknya suatu tindakan.
b.Etika khusus ialah penerapan moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus misalnya olah raga, bisnis, atau profesi tertentu. Dari sinilah nanti akan lahir etika bisnis dan etika profesi (wartawan, dokter, hakim, pustakawan, dan lainnya).
Bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis dari bahasa Inggris business, dari kata dasar busy yang berarti “sibuk” dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Dalam ekonomi kapitalis, dimana kebanyakan bisnis dimiliki oleh pihak swasta, bisnis dibentuk untuk mendapatkan profit dan meningkatkan kemakmuran para pemiliknya. Pemilik dan operator dari sebuah bisnis mendapatkan imbalan sesuai dengan waktu, usaha, atau kapital yang mereka berikan. Namun tidak semua bisnis mengejar keuntungan seperti ini, misalnya bisnis koperatif yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan semua anggotanya atau institusi pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Model bisnis seperti ini kontras dengan sistem sosialistik, dimana bisnis besar kebanyakan dimiliki oleh pemerintah, masyarakat umum, atau serikat pekerja.
Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan. Kata “bisnis” sendiri memiliki tiga penggunaan, tergantung skupnya, penggunaan singular kata bisnis dapat merujuk pada badan usaha, yaitu kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang bertujuan mencari laba atau keuntungan. Penggunaan yang lebih luas dapat merujuk pada sektor pasar tertentu, misalnya “bisnis pertelevisian.” Penggunaan yang paling luas merujuk pada seluruh aktivitas yang dilakukan oleh komunitas penyedia barang dan jasa. Meskipun demikian, definisi “bisnis” yang tepat masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini. Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
a) Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
b) Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
c) Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang, karena :
1.
Mampu mengurangi biaya akibat
dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik intern perusahaan maupun dengan
eksternal.
2.
Mampu meningkatkan motivasi
pekerja.
3.
Melindungi prinsip kebebasan
berniaga.
4.
Mampu meningkatkan keunggulan
bersaing.
Tidak
bisa dipungkiri, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan
memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra
produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan
beroperasi dan lain sebagainya. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan
maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai etika bisnis, pada umumnya termasuk perusahaan yang memiliki
peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak
mentolerir tindakan yang tidak etis, misalnya diskriminasi dalam sistem
remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang
paling berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus semaksimal
mungkin harus mempertahankan karyawannya.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain adalah:
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain adalah:
1.
Pengendalian diri
2.
Pengembangan tanggung jawab
social (social responsibility)
3.
Mempertahankan jati diri dan
tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan
teknologi
4.
Menciptakan persaingan yang sehat
5.
Menerapkan konsep “pembangunan
berkelanjutan”
6.
Menghindari sifat 5K (Katabelece,
Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi)
7.
Mampu menyatakan yang benar itu
benar
8.
Menumbuhkan sikap saling percaya
antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha ke bawah
9.
Konsekuen dan konsisten dengan
aturan main yang telah disepakati bersama
10.
Menumbuhkembangkan kesadaran dan
rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
11.
Perlu adanya sebagian etika
bisnis yang dituangkan dalam suatu hokum positif yang berupa peraturan
perundang-undangan
Etika
bisnis merupakan aspek penting dalam membangun hubungan bisnis dengan pihak
lain. Sukses atau gagalnya suatu bisnis sangat ditentukan oleh etika bisnis
seseorang. Etika bisnis yang baik juga dapat membangun komunikasi yang lebih
baik dan mengembangkan sikap saling percaya antarsesama pebisnis. Ada dua hal
yang harus Anda perhatikan dalam berbisnis. Yang pertama adalah memerhatikan
kepentingan dan menjaga perasaan orang lain. Yang kedua adalah mencegah
terjadinya salah paham dengan orang lain, karena masing-masing budaya atau
negara mempunyai etika bisnis yang berbeda. Meski begitu, terdapat beberapa
etika yang berlaku umum. Perilaku dan sikap Anda bisa mencerminkan tentang diri
Anda. Perilaku juga mencerminkan watak Anda sehingga ada beberapa hal yang
harus dihindari. Perilaku yang hanya mementingkan diri sendiri, tidak disiplin,
dan tidak bisa dipercaya, dapat membuat bisnis tidak berkembang. Etika bisnis
yang tepat dapat membangkitkan sifat-sifat yang positif. Tunjukkan sifat
positif Anda. Misalnya, Anda perlu tahu kapan harus menunjukkan perhatian dan
belas kasih tanpa menjadi emosional. Tanamkanlah rasa percaya pada diri sendiri
tanpa harus bersifat sombong. Dengan mempelajari etika bisnis, Anda akan
menunjukkan bahwa diri Anda memiliki pikiran yang terbuka, sehingga akan
membuat Anda dihargai oleh orang lain.
Semua etika bisnis yang baik harus didasari dengan kepekaan dan tenggang rasa. Sebaiknya Anda pelajari etika umum (termasuk juga dari negara-negara lain), mulai dari cara merespon, menyapa, dan sebagainya. Hal ini akan mampu membangun hubungan bisnis yang kuat. Anda juga harus berbicara secara hati-hati. Saat bicara pada rekan bisnis sebaiknya pikirkan kata-kata yang tepat, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, seperti misalnya membuat orang tersinggung. Etika bisnis mendorong kehati-hatian dalam berkomunikasi dan memilih bentuk-bentuk ekspresi yang bisa diterima. Cobalah untuk berpakaian secara tepat, berdiri dan duduk di tempat sesuai dengan posisi Anda pada waktu yang tepat. Jaga postur tubuh yang baik, sehingga akan menciptakan kesan yang baik dan menghindari kesalahpahaman.
Perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan. Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct), memperkuat sistem pengawasan, menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.
2.2. CONTOH KASUS
KASUS ETIKA BISNIS INDOMIE DI TAIWAN
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar. Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah. Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
Semua etika bisnis yang baik harus didasari dengan kepekaan dan tenggang rasa. Sebaiknya Anda pelajari etika umum (termasuk juga dari negara-negara lain), mulai dari cara merespon, menyapa, dan sebagainya. Hal ini akan mampu membangun hubungan bisnis yang kuat. Anda juga harus berbicara secara hati-hati. Saat bicara pada rekan bisnis sebaiknya pikirkan kata-kata yang tepat, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, seperti misalnya membuat orang tersinggung. Etika bisnis mendorong kehati-hatian dalam berkomunikasi dan memilih bentuk-bentuk ekspresi yang bisa diterima. Cobalah untuk berpakaian secara tepat, berdiri dan duduk di tempat sesuai dengan posisi Anda pada waktu yang tepat. Jaga postur tubuh yang baik, sehingga akan menciptakan kesan yang baik dan menghindari kesalahpahaman.
Perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan. Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct), memperkuat sistem pengawasan, menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.
2.2. CONTOH KASUS
KASUS ETIKA BISNIS INDOMIE DI TAIWAN
Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar. Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah. Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
III. PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Seperti pada kasus Indomie masalah yang terjadi dikarenakan kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai kandungan-kandungan apa saja yang terkandung dalam produk mie tersebut sehingga Taiwan mempermasalahkan kandungan nipagin yang ada dalam produk tersebut. Padahal menurut BPOM kandungan nipagin yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut, kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi. Selain itu standar di antara kedua Negara yang berbeda Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision dan karena Taiwan bukan merupakan anggota Codec sehingga harusnya produk Indomie tersebut tidak dipasarkan ke Taiwan.
3.2. SARAN
Bagi perusahaan Indomie sebaiknya memperbaiki etika dalam berbisnis, harus transparan mengenai kandungan-kandungan apa saja yang terkandung dalam produk mie yang mereka produksi agar tidak ada permasalah dan keresahan yang terjadi akibat informasi yang kurang bagi para konsumen tentang makanan yang akan mereka konsumsi.
SUMBER REFERENSI :
http://rkarinanovianaputri.blogspot.com/2009/10/minggu-18-oktober-2009-makalah-etika.htm
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/periskop/etika-bisnis-dan-pendidikan.html
http://aslanstil.blogspot.com/2011/02/makalah-etika-profesietika-bisnis-dan.html
http://erniritonga123.blogspot.com/2010/01/definisi-etika.htm
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/definisi-dan-pengertian-bisnis/
http://galih-chess.blogspot.com/2010/01/pengertian-etika-bisnis.html
http://www.ciputraentrepreneurship.com/bina-usaha/49-rencana-bisnis/6350-etika-bisnis-yang-baik.html
http://niknok.blogspot.com/etika-bisnis.html
http://imandarmawan01.blogspot.com/2011/11/contoh-kasus-etika-bisnis-indomie-di.html
http://novrygunawan.wordpress.com/2010/11/28/contoh-kasus-etika-bisnis-kasus-di-tolaknya-indomie-di-taiwan-tugas-etika-bisnis-ke-2/
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Seperti pada kasus Indomie masalah yang terjadi dikarenakan kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai kandungan-kandungan apa saja yang terkandung dalam produk mie tersebut sehingga Taiwan mempermasalahkan kandungan nipagin yang ada dalam produk tersebut. Padahal menurut BPOM kandungan nipagin yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut, kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi. Selain itu standar di antara kedua Negara yang berbeda Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision dan karena Taiwan bukan merupakan anggota Codec sehingga harusnya produk Indomie tersebut tidak dipasarkan ke Taiwan.
3.2. SARAN
Bagi perusahaan Indomie sebaiknya memperbaiki etika dalam berbisnis, harus transparan mengenai kandungan-kandungan apa saja yang terkandung dalam produk mie yang mereka produksi agar tidak ada permasalah dan keresahan yang terjadi akibat informasi yang kurang bagi para konsumen tentang makanan yang akan mereka konsumsi.
SUMBER REFERENSI :
http://rkarinanovianaputri.blogspot.com/2009/10/minggu-18-oktober-2009-makalah-etika.htm
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/periskop/etika-bisnis-dan-pendidikan.html
http://aslanstil.blogspot.com/2011/02/makalah-etika-profesietika-bisnis-dan.html
http://erniritonga123.blogspot.com/2010/01/definisi-etika.htm
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/definisi-dan-pengertian-bisnis/
http://galih-chess.blogspot.com/2010/01/pengertian-etika-bisnis.html
http://www.ciputraentrepreneurship.com/bina-usaha/49-rencana-bisnis/6350-etika-bisnis-yang-baik.html
http://niknok.blogspot.com/etika-bisnis.html
http://imandarmawan01.blogspot.com/2011/11/contoh-kasus-etika-bisnis-indomie-di.html
http://novrygunawan.wordpress.com/2010/11/28/contoh-kasus-etika-bisnis-kasus-di-tolaknya-indomie-di-taiwan-tugas-etika-bisnis-ke-2/
0 komentar:
Post a Comment