ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kegagalan yang paling terasa dari modernisasi yang merupakan akibat
langsung dari era globalisasi adalah dalam bidang ekonomi. Kapitalisme modern
yang walaupun akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari sosialisme,
kenyataannya justru melahirkan berbagai persoalan, terutama bagi negara-negara
Dunia Ketiga (termasuk negara-negara Muslim) yang cenderung menjadi obyek
daripada menjadi subyek kapitalisme.
Dikaitkan dengan kegagalan kapitalisme Barat di negara-negara Muslim
tersebut, kesadaran bahwa akar kapitalisme bukanlah dari Islam kemudian
membangkitkan keinginan untuk merekonstruksi sistem ekonomi yang dianggap
“otentik” berasal dari Islam. Apalagi sejarah memperlihatkan bahwa pemikiran
ekonomi, telah pula dilakukan oleh para ulama Islam, bahkan jauh sebelum Adam
Smith menulis buku monumentalnya The Wealth of Nations. Di samping itu, Iklim
perdagangan yang akrab dengan munculnya Islam, telah menempatkan beberapa tokoh
dalam sejarah sebagai pedagang yang berhasil. Keberhasilan tersebut ditunjang
oleh kemampuan skill maupun akumulasi modal yang dikembangkan. Dalam
pengertiannya yang sangat umum, maka bisa dikatakan bahwa dunia kapitalis sudah
begitu akrab dengan ajaran Islam maupun para tokohnya. Kondisi tersebut
mendapatkan legitimasi ayat al-Qur’an maupun sunnah dalam mengumpulkan harta
dari sebuah usaha secara maksimal.
Dengan banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis yang memberi pengajaran cara bisnis
yang benar dan praktek bisnis yang salah bahkan menyangkut hal-hal yang sangat
kecil, pada dasarnya kedudukan bisnis dan perdagangan dalam Islam sangat
penting. Prinsip-prinsip dasar dalam perdagangan tersebut dijadikan referensi
utama dalam pembahasan-pembahasan kegiatan ekonomi lainnya dalam Islam sebagai
mana pada mekanisme kontrak dan perjanjian baru yang berkaitan dengan negara
non-muslim yang tunduk pada hukum perjanjian barat.
Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis berfungsi untuk menolong
pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan problem-problem (moral)
dalam praktek bisnis mereka. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan sistem
ekonomi Islam khususnya dalam upaya revitalisasi perdagangan Islam sebagai
jawaban bagi kegagalan sistem ekonomi –baik kapitalisme maupun sosialisme-, menggali
nilai-nilai dasar Islam tentang aturan perdagangan (bisnis) dari al-Qur’an
maupun as-Sunnah, merupakan suatu hal yang harus dilakukan. Dengan kerangka
berpikir demikian, makalah ini akan mengkaji permasalahan revitalisasi
perdagangan Islam, yang akan dikaitkan dengan pengembangan sektor riil.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas, pemakalah menyusun beberapa
permasalahan, antara lain:
1. Apa pengertian etika bisnis dalam ekonomi
islam?
2. Apa dasar hukum etika bisnis dalam ekonomi islam?
3. Apa tujuan umum daripada etika bisnis dalam
ekonomi Islam?
4. Bagaimana Rasulullah memandu umatnya dalam hal
etika bisnis dalam ekonomi islam?
5. Bagaimana etika bisnis dalam ekonomi Islam
menjelaskan teori dan sistematikanya?
6. Bagaimana ketentuan umum yang ada didalam etika
bisnis dalam ekonomi Islam?
7. Dimana saja tingkatan aplikasi etika bisnis
dalam ekonomi Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR ETIKA BISNIS ISLAM
1. DEFINISI
a.
Definisi Etika
Secara etimologi,Etika (ethics) yang berasal
dari bahasa Yunani ethikos mempunyai beragam arti : pertama, sebagai
analisis konsep-konsep terhadap apa yang harus, mesti, tugas, aturan-aturan
moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, aplikasi ke
dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, aktualisasi
kehidupan yang baik secara moral.
Menurut K. Bertens dalam buku Etika, merumuskan pengertian etika kepada tiga
pengertian juga; Pertama, etika digunakan dalam pengertian nilai-niai dan
norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika dalam pengertian kumpulan asas
atau nilai-nilai moral atau kode etik. Ketiga, etika sebagai ilmu tentang baik
dan buruk.
Menurut Ahmad Amin memberikan batasan bahwa etika atau akhlak adalah ilmu yang
menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia
dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus
diperbuat.
b.
Definisi Bisnis
Kata bisnis dalam Al-Qur’an biasanya yang digunakan
al-tijarah, al-bai’, tadayantum, dan isytara. Tetapi yang seringkali digunakan
yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab tijaraha, berawal dari kata dasar t-j-r,
tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna berdagang atau berniaga. At-tijaratun
walmutjar yaitu perdagangan, perniagaan (menurut kamus al-munawwir).
Menurut ar-Raghib al-Asfahani dalam al-mufradat fi gharib al-Qur’an ,
at-Tijarah bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan. Menurut
Ibnu Farabi, yang dikutip ar-Raghib , fulanun tajirun bi kadza, berarti
seseorang yang mahir dan cakap yang mengetahui arah dan tujuan yang diupayakan
dalam usahanya.
Dalam penggunaannya kata tijarah pada ayat-ayat di atas terdapat dua macam
pemahaman. Pertama, dipahami dengan perdagangan yaitu pada surat Al-Baqarah ;
282.
Kedua, dipahami dengan perniagaan dalam pengertian
umum.
Dari penjelasan diatas, terlihat bahwa term bisnis dalam Al-Qur’an dari tijarah
pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat material dan hanya bertujuan mencari
keuntungan material semata, tetapi bersifat material sekaligus immaterial,
bahkan lebih meliputi dan mengutamakan hal yang bersifat immaterial dan
kualitas. Aktivitas bisnis tidak hanya dilakukan semata manusia tetapi juga
dilakukan antara manusia dengan Allah swt, bahwa bisnis harus dilakukan dengan
ketelitian dan kecermatan dalam proses administrasi dan perjanjian-perjanjian
dan bisnis tidak boleh dilakukan dengan cara penipuan, kebohongan, hanya karena
memperoleh keuntungan.
Dalam hal ini, ada dua definisi tentang pengertian perdagangan, dari dua sudut
pandang yang berbeda, yaitu menurut mufassir dan ilmu fikih :
1. Menurut Mufassir, Bisnis adalah pengelolaan modal untuk mendapatkan
keuntungan.
2.
Menurut Tinjauan Ahli Fikih,
Bisnis adalah saling menukarkan harta dengan harta secara suka sama suka, atau
pemindahan hak milik dengan adanya penggantian.
Menurut cara yang dibolehkan penjelasan dari pengertian diatas :
a. Perdagangan adalah satu bagian muamalat yang berbentuk transaksi
antara seorang dengan orang lain.
b. Transaksi perdagangan itu dilaksanakan dalam bentuk jual beli yang
diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul.
c. Perdagangan yang dilaksanakan bertujuan atau dengan motif untuk mencari
keuntungan.
d. Definisi
Etika Bisnis dalam Ekonomi Islam
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan kalau etika sebagai perangkat
prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang salah, sedangkan
bisnis adalah suatu serangkaian peristiwa yang melibatkan pelaku bisnis, maka
etika diperlukan dalam bisnis.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa, Etika bisnis adalah norma-norma atau
kaidah etik yang dianut oleh bisnis, baik sebagai institusi atau organisasi,
maupun dalam interaksi bisnisnya dengan “stakeholders”nya. Etika dan
tindak tanduk etisnya menjadi bagian budaya perusahaan dan “built-in” sebagai
perilaku (behavior) dalam diri karyawan biasa sampai CEO. bahkan pengusaha
sekalipun yang standarnya tidak uniform atau universal. Tapi lazimnya harus ada
standar minimal. Ketidak universal-an itu mencuatkan berbagai perspektif suatu
bangsa dalam menjiwai, mengoperasikan dan setiap kali menggugat diri.
Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis merupakan aplikasi pemahaman
kita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam institusi, teknologi,
transaksi, aktivitas dan usaha yang kita sebut bisnis. Pembahasan tentang etika
bisnis harus dimulai dengan menyediakan kerangka prinsip-prinsip dasar
pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan istilah baik dan benar, hanya dengan
cara itu selanjutnya seseorang dapat membahas implikasi-implikasi terhadap
dunia bisnis. Etika dan Bisnis, mendeskripsikan etika bisnis secara umum dan
menjelaskan orientasi umum terhadap bisnis, dan mendeskripsikan beberapa
pendekatan khusus terhadap etika bisnis, yang secara bersama-sama menyediakan
dasar untuk menganalisis masalah-masalah etis dalam bisnis.
Dengan demikian, bisnis dalam islam memposisikan pengertian bisnis yang pada
hakikatnya merupakan usaha manusia untuk mencari keridhaan Allah swt. Bisnis
tidak bertujuan jangka pendek, individual dan semata-mata keuntungan yang
berdasarkan kalkulasi matematika, tetapi bertujuan jangka pendek sekaligus
jangka panjang, yaitu tanggung jawab pribadi dan sosial dihadap masyarakat,
Negara dan Allah swt.
2. DASAR HUKUM
a.
Al Baqarah : 282
Yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika
mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak
ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.
jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan
sebagainya.
b. An Nisa' : 29
Yang artinya :Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Larangan membunuh
diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang
lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
c. At Taubah : 24
Yang artinya: Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak,
saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad
di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
d. An Nur : 37
Yang artinya : laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak
(pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang,
dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu)
hati dan penglihatan menjadi goncang.
e. As Shaff : 10
Yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan
suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?.
B. TUJUAN UMUM ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
Dalam hal ini, etika bisnis islam adalah merupakan hal yang penting dalam
perjalanan sebuah aktivitas bisnis profesional. Sebagaimana diungkapkan oleh
Dr. Syahata, bahwa etika bisnis Islam mempunyai fungsi substansial yang
membekali para pelaku bisnis, beberapa hal sebagai berikut :
1. Membangun kode etik islami yang mengatur, mengembangkan
dan menancapkan metode berbisnis dalam kerangka ajaran agama. Kode etik ini
juga menjadi simbol arahan agar melindungi pelaku bisnis dari resiko.
2. Kode ini dapat menjadi dasar hukum dalam menetapkan
tanggungjawab para pelaku bisnis, terutama bagi diri mereka sendiri, antara
komunitas bisnis, masyarakat, dan diatas segalanya adalah tanggungjawab di
hadapan Allah SWT.
3. Kode etik ini dipersepsi sebagai dokumen hukum yang dapat
menyelesaikan persoalan yang muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak
peradilan.
4. Kode etik dapat memberi kontribusi dalam penyelesaian
banyak persoalan yang terjadi antara sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat
mereka bekerja. Sebuah hal yang dapat membangun persaudaraan (ukhuwah) dan
kerja sama antara mereka semua.
C. PANDUAN RASULULLAH DALAM ETIKA BISNIS
Rasululah SAW sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di
antaranya ialah:
1. Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran.
Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat paling mendasar dalam kegiatan
bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis.
Dalam hal ini, beliau bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual
satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R.
Al-Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R.
Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau
melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru
di bagian atas.
2. Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis.
Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan
sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam
Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain)
sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari
untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang
lain dengan menjual barang.
3. Tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat
intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan
transaksi bisnis Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan
melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak
berkah”. Dalam hadis riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam dengan
azab yang pedih bagi orang yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak
akan memperdulikannya nanti di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah
palsu dalam kegiatan bisnis saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan
pembeli, dan pada gilirannya meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun,
harus disadari, bahwa meskipun keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi
hasilnya tidak berkah.
4. Ramah-tamah. Seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah
dalam melakukan bisnis. Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Allah
merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis”
(H.R. Bukhari dan Tarmizi).
5. Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar
orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah
kalian melakukan bisnis najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan
penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar
menarik orang lain untuk membeli).
6. Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang
membeli kepadanya. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di
antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh
orang lain” (H.R. Muttafaq ‘alaih).
7. Tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan
menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat
menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras
perilaku bisnis semacam itu.
8. Takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam
perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman
Allah: Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima
takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” ( QS. 83: 112).
9. Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah.
Firman Allah, “Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat
Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu
hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”.
10. Membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi
Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering
keringatnya”. Hadist ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh
ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakukan.
11. Tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi
kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana
adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial,
seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan
mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi
kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam.
12. Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya
bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu
dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos
(kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada
produsen minuman keras, karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras.
Semua bentuk bisnis tersebut dilarang Islam karena dapat merusak esensi
hubungan sosial yang justru harus dijaga dan diperhatikan secara cermat.
13. Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan
halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi,
dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis
miras, bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R. Jabir).
14. Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman
Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku
dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29).
15. Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya.
Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan
hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling
segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim).
16. Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum
mampu membayar. Sabda Nabi Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang
kesulitan membayar hutang atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di
bawah naunganNya pada hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R.
Muslim).
17. Bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba.
Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba
jika kamu beriman (QS. al-Baqarah:: 278) Pelaku dan pemakan riba dinilai
Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan
Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.
D. BEBERAPA TEORI DAN SISTEMATIKA ETIKA BISNIS
Sistem etika Islam secara umum memiliki perbedaan mendasar dibanding sistem
etika barat. Pemaparan pemikiran yang melahirkan sistem etika di Barat
cenderung memperlihatkan perjalanan yang dinamis dengan cirinya yang
berubah-ubah dan bersifat sementara sesuai dinamika peradaban yang dominan.
Lahirnya pemikiran etika biasanya didasarkan pada pengalaman dan nilai-nilai
yang diyakini para pencetusnya. Pengaruh ajaran agama kepada model etika di
Barat justru menciptakan ekstremitas baru dimana cenderung merenggut manusia
dan keterlibatan duniawi dibandingkan sudut lain yang sangat mengemukakan
rasionalisme dan keduniawian. Sedangkan dalam Islam mengajarkan kesatuan hubungan
antar manusia dengan Penciptanya. Kehidupan totalitas duniawi dan ukhrawi
dengan berdasarkan sumber utama yang jelas yaitu Al-Qur'an dan Hadis.
1. Etika Dalam Perspektif Barat
Dalam sistem etika Barat ini, ada tiga teori etika yang akan dibahas, antara
lain :
a. Teleologi
Teori yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill ini
mendasarkan pada dua konsep yakni : Pertama, konsep Utility
(manfaat) yang kemudian disebut Utilitarianisme. artinya, pengambilan keputusan
etika yang ada pada konsep ini dengan menggunakan pertimbangan manfaat terbesar
bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya. Dengan kata lain, sesuatu yang
dinilai benar adalah sesuatu yang memaksimalisasi apa yang baik atau
meminimalisir apa yang berbahaya bagi banyak pihak. Maka, sesuatu itu dinilai
sebagai perbuatan etis ketika sesuatu itu semakin bermanfaat bagi banyak orang.
Dan kedua, teori Keadilan Distribusi (Distribitive Justice) atau
keadilan yang berdasarkan pada konsep Fairness. Inti dari teori ini adalah
perbuatan itu dinilai etis apabila menjunjung keadilan distribusi barang dan
jasa berdasarkan pada konsep Fairness. Yakni konsep yang memiliki nilai dasar
keadilan. Dalam hal ini, suatu perbuatan sangat beretika apabila berakibat pada
pemerataan atau kesamaan kesejahteraan dan beban, sehingga konsep ini berfokus
pada metode distribusinya. Distribusi sesuai bagiannya, kebutuhannya, usahanya,
sumbangan sosialnya dan sesuai jasanya, dengan ukuran hasil yang dapat
meningkatkan kerjasama antara anggota masyarakat.
b. Deontologi
Teori yang dikembangkan oleh Immanuel Kant ini mengatakan bahwa keputusan moral
harus berdasarkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip universal, bukan
"hasil" atau "konsekuensi" seperti yang ada dalam teori
teleologi. Perbuatan baik bukan karena hasilnya tapi mengikuti suatu prinsip
yang baik berdasarkan kemauan yang baik.
Dalam teori ini terdapat dua konsep, yaitu : Pertama, Teori Keutamaan (Virtue
Ethics). Dasar dari teori ini bukanlah aturan atau prinsip yang secara
universal benar atau diterima, akan tetapi apa yang paling baik bagi manusia
untuk hidup. Dasar dari teori ini adalah tidak menyoroti perbuatan manusia
saja, akan tetapi seluruh manusia sebagai pelaku moral. Memandang sikap dan
akhlak seseorang yang adil, jujur, mura hati, dsb sebagai keseluruhan. Kedua,
Hukum Abadi (Eternal Law), dasar dari teori ini adalah bahwa perbuatan
etis harus didasarkan pada ajaran kitab suci dan alam.
c. Hybrid
Dalam teori ini terdapat lima teori, meliputi :
1) Personal Libertarianism
Dikembangkan oleh Robert Nozick, dimana perbuatan etikal diukur bukan dengan
keadilan distribusi kekayaan, namun dengan keadilan atau kesamaan kesempatan
bagi semua terhadap pilihan-pilihan yang ada (diketahui) untuk kemakmuran
mereka. Teori ini percaya bahwa moralitas akan tumbuh subur dari maksimalisasi
kebebasan individu.
2) Ethical Egoism
Dalam teori ini, memaksimalisasi kepentingan individu dilakukan sesuai dengan
keinginan individu yang bersangkutan. Kepentingan ini bukan harus berupa barang
atau kekayaan, bisa juga berupa ketenaran, keluarga bahagia, pekerjaan yang
baik, atau apapun yang dianggap penting oleh pengambil keputusan yang dalam hal
ini adalah yang bersangkutan.
3) Existentialism
Tokoh yang mengembangkan teori ini adalah Jean-Paul Sartre. Menurutnya, standar
perilaku tidak dapat dirasionalisasikan. Tidak ada perbuatan yang benar-benar
salah ataua benar-benar benar atau sebaliknya. Setiap orang dapat memilih
prinsip etika yang disukai karena manusia adalah apa yang ia inginkan dirinya
menjadi.
4) Relativism
Teori ini berpendapat bahwa etika itu bersifat relatif, jawaban dari etika itu
tergantung dari situasinya. Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa tidak ada
kriteria universal untuk menentukan perbuatan etis. Setiap individu mempunyai
kriteria sendiri-sendiri dan berbeda setiap budaya dan negara.
5) Teori Hak (right)
Nilai dasar yang dianut dalam teori in adalah kebebasan. Perbuatan etis harus
didasarkan pada hak individu terhadap kebebasan memilih. Setiap individu
memiliki hak moral yang tidak dapat ditawar.
2. Etika dalam Perpektif Islam
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dinamis sebagai bagian dari peradaban.
Dalam hal ini, etika dengan agama berkaitan erat dengan manusia, tentang upaya
pengaturan kehidupan dan perilakunya. Jika barat meletakkan "Akal"
sebagai dasar kebenarannya. Maka, Islam meletakkan "Al-Qur'an"
sebagai dasar kebenaran.
Berbagai teori etika Barat dapat dilihat dari sudut pandang Islam, sebagai
berikut :
a. Teleologi Utilitarian dalam Islam adalah hak individu dan
kelompok adalah penting dan tanggungjawab adalah hak perseorangan.
b. Distributive Justice dalam Islam adalah Islam mengajarkan
keadilan. Hak orang miskin berada pada harta orang kaya. Islam mengakui kerja
dan perbedaan kepemilikan kekayaan.
c. Deontologi dalam Islam adalah Niat baik tidak dapat
mengubah yang haram menjadi halal. Walaupun tujuan, niat dan asilnya baik, akan
tetapi apabila caranya tidak baik, maka tetap tidak baik.
d. Eternal Law dalam Islam adalah Allah mewajibkan manusia untuk
mempelajari dan membaca wahyu dan ciptaanNya. Keduanya harus dilakukan dengan
seimbang, Islam mewajibkan manusia aktif dalam kegiatan duniawi yang berupa
muamalah sebagai proses penyucian diri.
e. Relativisme dalam Islam adalah perbuatan manusia dan
nilainya harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan Hadis. Prinsip konsultasi
dengan pihak lain sangat ditekankan dalam Islam dan tidak ada tempat bagi
egoisme dalam Islam.
f. Teori Hak dalam Islam adalah menganjurkan kebebasan
memilih sesuai kepercayaannya dan menganjurkan keseimbangan. Kebebasan tanpa
tanggungjawab tidak dapat diterima. Dan tanggungjawab kepada Allah adalah hak
individu.
E. KETENTUAN UMUM ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
1. Kesatuan (Tauhid/Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid
yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang
ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan
konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka islam
menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas
dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun
horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
2. Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang
berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun
keadilan. Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk
dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi.
Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci
keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum
muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai
melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن تأويلا
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan
neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(Q.S.
al-Isra’: 35)
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat
adil,tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam Surat Al-Maidah : 8 yang artinya : “Hai orang-orang
beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali
kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku
adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.
3. Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi
kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka
lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk
aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Kecenderungan
manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas
dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya
melalui zakat, infak dan sedekah.
4. Tanggungjawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia
karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk
memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan
tindakanya secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia
menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan
bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.
5. Kebenaran: kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari
kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam
konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar
yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas
pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan.
Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku
preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan
transaksi, kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.
F. TINGKATAN APLIKASI ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
Adapun penerapan etika bisnis dapat dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu;
individual, organisasi, dan sistem. Pertama, pada tingkat individual, etika
bisnis mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang atas tanggungjawab
pribadinya dan kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Kedua,
pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan
perusahaan dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya. Ketiga,
pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan berdasarkan
sistem etika tertentu.
Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral
yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan,
emosi atau religiusitas hanya dipegang oleh pelaku bisnis yang kurang berhasil
dalam berbisnis. Sementara para pelaku bisnis yang sukses memegang
prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral, misalnya maksimalisasi laba,
agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan manajemen konflik.
-----------------------------------------------------
- Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama RI. 1985
- Ahmad,
Mustaq Etika Bisnis dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar)2001.
- Badroen,
Faishal dkk. Etika Bisnis Dalam Islam,(Jakarta : Kencana) 2007
- Basyir,
Ahmad Azhar. Asas-Asas Hukum Mu`amalat.(Yogyakarta : UII Press) 2000
- Karim,
Adiwarman, Ekonomi Islam, Suatu Kajian Ekonomi Makro, (Jakarta: IIIT
Indonesia)2002
- Karim, M.
Rusli Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana)1992
- Raharjo,
M. Dawam Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi. (Jakarta : LP3ES)1995
- Rakhmat,
Jalaluddin. Konsep Konsep Anthropolgis, dalam Kontekstualisasi Doktrin
Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina)1994
- Suseno,
Franz Magnis. Etika Bisnis : dasar Dan Aplikasinya, (Jakarta :
Gramedia)1994
- Taufik
Abdullah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi.(Jakarta: LP3ES)1982
- Zubair,
Achmad Charris. Kuliah Etika, (Jakarta : Rajawali Press)1995
- http://hndwibowo.blogspot.com/2008/06/etika-bisnis-dalam-islam.html.
- http://agustianto.niriah.com/2008/04/11/etika-bisnis-dalam-islam/
- http://zonaekis.com/prinsip-prinsip-dasar-dalam-etika-bisnis-islam
- http://zulfictarreza.blogspot.com/2010/11/etika-bisnis.html
Nama : Tri Witmi Lestari
NIM : 11 0201 0157