Analisis Ekonomi Atas Perkembangan Hukum Bisnis Indonesia
Suatu
masyarakat yang sehat cenderung memilih atau menciptakan hukum-hukum yang dapat
mempromosikan efisiensi ekonomi. Untuk mengukur apakah hukum yang dipilih atau
diciptakan turut mempromosikan efisiensi ekonomi, maka diperlukan pendekatan
terhadap hukum yang tidak semata-mata hukum an sich. Oleh karena itu tulisan
ini membahas suatu pendekatan terhadap hukum yang semakin hari semakin
berkembang, yakni “Economic Analysis of Law”.
Dalam tulisan ini juga dikemukakan perkembangan Economic Analysis
of Law di Indonesia, serta beberapa contoh aplikasi, sehingga dapat dilihat
bahwa pendekatan ekonomi atas hukum memang relevan dan bermanfaat bagi
perkembangan hukum di Indonesia. Dalam hal ini secara umum fokus pembahasannya
adalah mengenai fenomena-fenomena yang menjadi kecenderungan di bidang hukum
bisnis, yang secara implisit maupun eksplisit dapat menimbulkan
ketidakefisienan (inefficient).
Kecenderungan-kecenderungan tersebut berkenaan dengan diwajibkannya pelibatan
profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan
perundang-undangan, ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga
pendukung di bidang hukum bisnis, serta adanya ketidakharmonisan antar
peraturan perundang-undangan.
Analisis Ekonomi Atas Hukum
Bidang Analisis Ekonomi Atas Hukum, atau yang umumnya dikenal
sebagai “Economic Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui
pemikiran utilitarianisme Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara sistemik bagaimana
orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan mengevaluasi
hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social welfare).
Pemikiran utilitarianisme hukum Bentham tersebut tersebar dalam
tulisan-tulisannya berupa analisis atas hukum pidana dan penegakannya, analisis
mengenai hak milik (hukum kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas
proses-proses hukum. Namun pemikiran ala Bentham tersebut mandeg sampai tahun
1960-an, dan baru berkembang pada awal tahun 1970-an, dengan dipelopori oleh
pemikiran-pemikiran dari Ronald Coasei (1960), dengan artikelnya yang membahas
permasalahan eksternalitas dan tanggung jawab hukum; Becker (1968), dengan
artikelnya yang membahas kejahatan dan penegakan hukum; Calabresi (1970),
dengan bukunya mengenai hukum kecelakaan; dan Posner (1972), dengan buku
teksnya yang berjudul “Economic Analysis of Law” dan penerbitan “Journal of
Legal Studies”.ii
Secara garis besar Analisis Ekonomi Atas Hukum menerapkan
pendekatannya untuk memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan dasar
mengenai aturan-aturan hukum. Yakni analisis yang bersifat ‘positive’ atau
‘descriptive’, berkenaan dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan hukum
terhadap tingkah laku orang yang bersangkutan (the identification of the effects of a legal rule);
dan analisis yang bersifat ‘normative’, berkenaan dengan pertanyaan apakah
pengaruh dari aturan-aturan hukum sesuai dengan keinginan masyarakat (the social desirability of a legal
rule). Pendekatan yang dipakai Analisis Ekonomi Atas Hukum terhadap
dua permasalahan dasar tersebut, adalah pendekatan yang biasa dipakai dalam
analisis ekonomi secara umum, yakni menjelaskan tingkah laku, baik manusia
secara perorangan maupun perusahaan-perusahaan, yang berwawasan ke depan (forward
looking) dan rasional, serta mengadopsi kerangka kesejahteraan ekonomi untuk
menguji keinginan masyarakat.iii
Steven Shavell, professor di Harvard Law School, menjelaskan lebih
lanjut mengenai analisis yang bersifat deskriptif dan normatif dari Analisis Ekonomi
Atas Hukum dengan mengemukakan manfaat atau tujuan akhir dari analisis
dimaksud. Dengan analisis deskriptif dapat dikatakan rasional, bilamana orang
bertindak untuk memaksimalkan tujuan atau keuntungan yang diharapkannya.
Sebagai contoh adalah pertanyaan mengapa orang sangat berhati-hati dalam
mengendarai kendaraannya, walaupun misalnya orang tersebut mempunyai asuransi,
dapat dijawab dengan kemungkinan bahwa ia tidak mau mengalami luka akibat
kecelakaan, adanya ketentuan mengenai tanggung jawab atau adanya resiko
diajukan ke pengadilan. Sedangkan dengan analisis normatif dapat diterangkan
bahwa satu aturan hukum tertentu lebih baik dari aturan hukum lain bilamana
memberikan level tertinggi bagi ukuran kesejahteraan sosial. Contoh yang dapat
diberikan misalnya bilamana masyarakat menghendaki untuk meminimalisasi jumlah
kecelakaan lalu lintas, maka aturan hukum yang terbaik adalah yang memberikan
hukuman atau sanksi bagi penyebab-penyebab kecelakaan.iv
Perkembangannya sekarang, Analisis Ekonomi Atas Hukum tidak
terbatas pada dua permasalahan dasar sebagaimana dijelaskan di muka, namun
meluas pada setiap penggunaan prinsip-prinsip ekonomi terhadap
permasalahan-permasalahan hukum dan kebijakan publik. Hal ini dapat dilihat
dari pengertian Economic Analysis of Law yang diberikan oleh William and Mary
School of Law dalam ensiklopedia onlinenya sebagai berikut :
“A study of many applications of economic reasoning to problems of
law and public policy including economic regulation of business; antitrust
enforcement; and more basic areas such as property rights, tort and contract
law and remedies, and civil or criminal procedures. No particular background in
economics is required; relevan economic concepts will developed through
analysis of various legal applications.”v
Perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum Di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa unsur ekonomi dalam pembuatan
kebijakan, baik pada tingkat pembentukan, implementasi maupun enforcement
peraturan perundang-undangan telah sangat berpengaruh di Indonesia. Secara
resmi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan salah satu arah
Kebijakan Program Pembangunan Nasional Bidang Hukum, yakni mengembangkan
peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam
menghadapi era perdagangan bebas. Tentunya arah kebijakan tersebut merupakan
satu indikator kuatnya pengaruh atau tujuan ekonomi dalam perkembangan hukum di
Indonesia.
Memang secara teoritis konseptual, aliran Analisis Ekonomi Atas
Hukum belum fenomenal dan melembaga di Indonesia, sebagaimana menimpa juga
aliran-aliran hukum lain. Sehubungan dengan gejala tersebut, relevan
mengemukakan pendapat Ifdhal Kasim, bahwa di Indonesia kajian-kajian yang
merupakan kritik-teori atau doktrin atas suatu paradigma atau pendekatan
tertentu dalam kajian hukum kurang berkembang. Ahli-ahli hukum di Indonesia
kurang bergairah dalam melakukan penjelajahan teoritis atas berbagai paradigma
dalam ilmu hukum atau taking doctrine seriously.vi Meskipun demikian perbincangan
mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum bukannya sama sekali tidak ada. Hal ini
dapat dilihat misalnya dalam teks oratio dies Universitas Katolik Parahyangan
Bandung pada tahun 1995, dengan mengemukakan kerangka berpikir :
1.
Berdasarkan pengamatan empiris
upaya perlindungan lingkungan yang hanya digantungkan pada penggunaan instrumen
hukum (legal instruments) terbukti kurang efektif.
2.
Praktek-praktek perlindungan
lingkungan di negara lain, ternyata sudah menerapkan konsep mixed-tools of
compliance, dimana instrumen ekonomi (economic instruments) merupakan salah
satu insentif yang membuat potensial pencemar mematuhi ketentuan Hukum
Lingkungan.
3.
Terdapat ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup yang memberikan dasar
hukum yang kuat untuk menerapkan konsep mixed-tools of compliance.vii
Konsern atas pendekatan ekonomi terhadap hukum juga diberikan oleh
Thee Kian Wie, yang menekankan perlunya aspek ekonomi diperhatikan dalam
implementasi UU No. 5/1999 dengan mengemukakan bahasan pengkategorian monopoli,
persaingan tidak sehat, kartel, price fixing, market division, merger,
cross-shareholding, dan sebagainya.viii Tidak kalah menariknya juga pembahasan
Heru Supraptomo terhadap Hukum Perbankan dengan pendekatan ekonomi. Sambil
mengutip pendapat Posner, ia menyatakan bahwa :
“…, ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull
tool) untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang
terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini
belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun
dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan
dalam hukum perbankan.”ix
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa keinginan untuk melibatkan prinsip atau teori ekonomi dalam perkembangan
hukum di Indonesia telah tampak, meskipun masih belum sebagaimana yang
diharapkan. Kajian yang semakin sadar dan berkesinambungan tentunya akan lebih
memberikan manfaat bagi perancangan sistem hukum, pembentukan, penerapan dan
enforcement peraturan perundang-undangan, mengingat sebagaimana perkembangan di
Amerika Serikat, pendekatan ekonomi atas hukum telah menggejala di setiap
bidang hukum.
Implementasi Dalam Hukum Bisnis
Guna memperjelas pembahasan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum,
terutama implementasinya dalam bidang hukum bisnis di Indonesia, maka di bawah
akan dikritisi beberapa permasalahan yang aktual yang dihadapkan dengan prinsip
efisiensi ekonomi (economic
efficiency). Pemilihan prinsip efisiensi ini berdasarkan pada
kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan rumusan-rumusan teknis
ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang menjadi fokus perhatian adalah
berkenaan dengan kemungkinan munculnya ketidakefisienan (inefficiency) dari
pembentukan, penerapan maupun enforcement dari peraturan perundang-undangan.
Pertama berkenaan dengan kecenderungan diwajibkannya pelibatan
profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan
perundang-undangan. Hal ini misalnya terlihat dalam Pasal 5 Undang-undang No.
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF), yang mengharuskan dibuatnya
pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dengan akta notaris. Sutan Remy
Sjahdeini memberikan komentar terhadap pasal tersebut dengan mengatakan tidak
jelasnya alasan harus dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara
notariil, mengingat di dalam praktik selama ini, perjanjian Fidusia cukup
dibuat dengan akta di bawah tangan.x
Bilamana keharusan tersebut dihubungkan dengan kewajiban selanjutnya
berupa pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia, tentunya juga masih dapat
dipertanyakan kemanfaatan pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara
notariil tersebut dibandingkan dengan pembebanan secara di bawah tangan. Secara
ekonomis pembebanan secara notariil akan sangat memberatkan para debitor,
terutama bagi debitor pengusaha lemah. Bahkan terjadi dalam praktik sekarang
ini, walaupun mengenai biaya pembuatan akta telah diatur dengan Peraturan
Pemerintah, namun karena tidak ada pilihan lain kecuali memakai jasa notaris
yang ijin prakteknya di daerah yang bersangkutan, maka notaris tersebut dapat
secara sewenang-wenang untuk menetapkan besarnya biaya pembuatan akta.
Sebelumnya berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah (UUHT) ditetapkan juga bahwa pemberian Hak Tanggungan dilakukan
dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT). Alasan penerapan ketentuan ini adalah bahwa PPAT merupakan
pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta
lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan,
sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang
terletak di daerah kerjanya.
Terhadap ketentuan UUHT inipun disampaikan kritik yang sama
berkenaan dengan pembebanan yang secara ekonomis memberatkan debitor pengusaha
lemah. Menanggapi hal tersebut melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu
Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan
Kredit-kredit Tertentu, pemerintah memberikan kemungkinan bagi SKMHT jenis
kredit tertentu berlaku sampai berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok
yang bersangkutan.
Kecenderungan tersebut juga terlihat dalam Rancangan Undang-undang
Perkreditan Perbankan (RUU-PP) yang dibuat oleh DPR, yang menetapkan bahwa akta
perjanjian kredit dibuat di hadapan notaris.xi Oleh karena itu terdapat pandangan
sinis di masyarakat dengan menyebutkan peraturan perundang-undangan yang memuat
ketentuan seperti itu sebagai hasil dari ‘Notaris Connection”.
Kritik inefisiensi terhadap notaris sebagaimana dibahas di atas
juga menimpa profesi hukum lain, yakni penasehat hukum. Pasal 5 Undang-undang
Kepailitan, menetapkan bahwa permohonan berkenaan dengan proses kepailitan
harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek (dalam
hal ini izin praktek pengacara kepailitan). Permohonan tersebut antara lain
berupa permohonan pernyataan pailit, permohonan sita jaminan dan penunjukan
kurator, permohonan Kasasi, pengajuan Memori Kasasi, permohonan Peninjauan
Kembali, permohonan penangguhan sementara, pengangkatan penangguhan dan perubahan
syarat-syarat penangguhan, tuntutan pembatalan perdamaian, serta permohonan
rehabilitasi di bidang kepailitan. Alasan diwajibkannya penggunaan penasehat
hukum yang memiliki izin praktek tersebut, memang masuk di akal bilamana
dihubungkan dengan singkatnya waktu yang diperlukan dalam proses acara
kepailitan serta diperlukannya spesialisasi dan professionalitas pengacara
kepailitan. Namun ditinjau dari perspektif adanya pembatasan bagi kalangan
tertentu untuk ikut dalam ujian kepengacaraan, seperti kalangan internal
corporate lawyer BUMN, maka secara ekonomis bagi perusahaan-perusahaan BUMN,
Pasal 5 Undang-undang Kepailitan akan sangat memberatkan. Hal tersebut terjadi
karena dianggapnya pegawai BUMN sebagai Pegawai Negeri Sipil, sehingga tidak
diperkenankan ikut dalam ujian kepengacaraan. Padahal bilamana internal
corporate lawyer BUMN diperkenankan memiliki sertipikat pengacara kepailitan,
maka proses acara kepailitan tidak perlu diwakili oleh external
corporate lawyer yang
berbiaya tinggi.
Kedua berkenaan dengan ketidakefisienan dalam pembentukan
lembaga-lembaga pendukung di bidang hukum bisnis. Misalnya pembentukan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)xii, Badan Perlindungan Konsumen
Nasional (BPKN)xiii, dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)xiv yang dilakukan secara terpisah dan
berdiri sendiri-sendiri pada gilirannya akan menimbulkan pemborosan. Segala
biaya untuk pelaksanaan tugas lembaga-lembaga tersebut dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Padahal di Amerika Serikat sendiri
sebagai negara pelopor persaingan usaha sehat dan perlindungan konsumen, tugas
sebagaimana dibebankan kepada KPPU, BPKN dan BPSK dicakup atau merupakan tugas
satu lembaga yang bernama Federal Trade Commission (FTC). Sebagai bahan
perbandingan di bawah ini dikutipkan posisi dan tugas FTC antara lain sebagai
berikut :
“The basic objective of the FTC is to promote free and fair trade
competition in the American economy. … It provides guidance to business and
industry on what they may do under the laws administered by the commission. It
also gathers and makes available to Congress, the president, and the public
factual data on economic and business conditions.
The FTC consists of five commissioners who are appointed for 7-year terms by the president, with the advice and consent of the Senate. Not more than three of the commissioners may be members of the same political party. One commissioner is chosen as chair by the president.
The most prominent and active consumer protection agency this year was the Federal Trade Commission.”xv
The FTC consists of five commissioners who are appointed for 7-year terms by the president, with the advice and consent of the Senate. Not more than three of the commissioners may be members of the same political party. One commissioner is chosen as chair by the president.
The most prominent and active consumer protection agency this year was the Federal Trade Commission.”xv
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka pendekatan ekonomi relevan
dikemukakan berkenaan dengan gagasan pembentukan lembaga penunjang hukum
bisnis, sehingga nilai efisiensi dari pembentukan lembaga tersebut dapat
dimaksimalisasi. Contohnya bilamana suatu lembaga yang digagas, tugas-tugasnya
mendekati atau dapat dibebankan kepada lembaga yang sudah ada, maka tidak perlu
membentuk lembaga baru.
Permasalahan lain yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah
ketidakharmonisan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikemukakan misalnya adanya
ketentuan hukum yang menyimpang dari prinsip pokok pengembangan lembaga
non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan untuk menolak perkara dimana para
pihak sendiri telah memilih penyelesaian secara non-litigasi. Ketentuan
tersebut tampak pada ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, yakni yang mengatur sebagai berikut :
“Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di
luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya
tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak
yang bersengketa.”
Pasal seperti ini tidak memberikan kepastian hukum. Seyogyamya
bila upaya penyelesaian di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak, upaya
tersebut harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib untuk menolak
gugatannya. Ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menetapkan bahwa Pengadilan Negeri tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase.
Contoh lain ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan
yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen
perusahaan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen
Perusahaan, bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum
Dagang dengan mengurangi jangka waktu kewajiban menyimpan dokumen perusahaan
yang tadinya 30 (tiga puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh) tahun. Namun berhadapan
dengan ketentuan mengenai daluarsa, pembaruan jangka waktu tersebut menjadi
tidak berarti. Sehingga pilihan untuk memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu
dan biaya dalam pemeliharaan dokumen dengan kemungkinan memusnahkannya setelah
lewat waktu 10 tahun, berhadapan dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar
yang akan timbul dari proses pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal
tersebut ditambah dengan kekakuan pengadilan dalam menerima bukti yang hanya
berupa bukti-bukti tertulis saja, sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam
bentuk paperless media yang juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 12
Undang-undang Dokumen Perusahaan akan semakin memperburuk kondisi inefisiensi.
Penutup
Dengan memaparkan perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum, serta
melibatkannya dalam kebijakan dan praktik hukum di Indonesia, maka menjadi
lebih terbuka kemungkinan perubahan paradigma serta lebih banyak alternatif
pemikiran yang dapat disumbangkan dalam pengkajian hukum di Indonesia. Tulisan
ini merupakan pengantar bagi studi yang lebih jauh terhadap Analisis Ekonomi
Atas Hukum, namun demikan pada tingkatnya yang sangat minimal telah dapat
memunculkan salah satu kritik penting berkenaan dengan masalah economic
efficiency yang secara tidak sadar ada dalam perkembangan hukum bisnis di
Indonesia. Oleh karena itu relevan kiranya untuk masa yang akan datang,
memfungsikan model Analisis Ekonomi Atas Hukum disamping model teori hukum lain
ke segenap proses hukum di Indonesia, baik dalam tingkat pembentukan, penerapan
atau penegakan hukum dan dalam menganalisis doktrin serta menguji keabsahan
suatu sistem sosial dan kebijakan-kebijakan tertentu.
Kepustakaan
- Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan, Newsletter Pusat Pengkajian Hukum, No. 28 - Tahun VIII, Jakarta, 1997.
- Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam Kajian Hukum di Indonesia, Wacana (Jurnal Ilmu Social Transformatif), Edisi 6, Tahun II, Jakarta, 2000.
- Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, National Bureau of Economic Research, Cambridge, 1999.
- Stefanus Haryanto, Pendekatan Ekonomi Dalam Upaya Perlindungan Lingkungan, teks oratio dies, Jakarta, 1995.
- Steven Shavell, Economic Analysis of Law, materi “Harvard University Online Course”, http://www.hls.edu/.
- Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, Jakarta, 2000.
- Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan Dalam Implementasi UU No. 5/1999, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, Jakarta, 1999.
Endnote
i) Ronald Coase adalah pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi.
Pendekatannya terkenal dengan nama ‘the Coase Theorem’, yang memberi penafsiran
baru terhadap teori eksternalitas (externality), yakni berkenaan dengan
analisis situasi di mana tindakan seseorang mengakibatkan beban biaya (atau
keuntungan) bagi orang lain.
ii) Louis Kaplow dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law,
National Bureau of Economic Research, Cambridge, 1999, hal. 1.
iii) Ibid., dan Steven Shavell, Economic Analysis of Law, materi
“Harvard University Online Course”, http://www.hls.edu/,
Chapter 1, hal. 1.
iv) Steven Shavell, Economic Analysis of Law, Chapter 1, hal. 1.
v) Definisi yang diberikan website resmi William and Mary School
of Law, http://www.wm.edu/.
vi) Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ Dalam
Kajian Hukum di Indonesia, Wacana (Jurnal Ilmu Social Transformatif), Edisi 6,
Tahun II - 2000, hal. 23.
vii) Stefanus Haryanto, Pendekatan Ekonomi Dalam Upaya
Perlindungan Lingkungan, 1995, hal. 2.
viii) Thee Kian Wie, Aspek-aspek Ekonomi Yang Perlu Diperhatikan
Dalam Implementasi UU No. 5/1999, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 7, 1999, hal 60.
ix) Heru Supraptomo, Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Perbankan,
Newsletter Pusat Pengkajian Hukum, No. 28/Tahun VIII/Maret/1997, Jakarta, hal.
4.
x) Sutan Remy Sjahdeini, Komentar Pasal Demi Pasal Undang-undang
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 10, 2000,
hal. 43.
xi) Pasal 27 Rancangan Undang-undang Perkreditan Perbankan (draft
pertama).
xii) Dibentuk berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 5/1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
xiii) Dibentuk berdasarkan Pasal 31 UU No. 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
xiv) Dibentuk berdasarkan Pasal 49 UU No. 8/1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
xv) Microsoft Encarta Reference Suite 2001, CD-ROM Encyclopedia.
0 komentar:
Post a Comment