Kam,12 Sep2013 pada 12:56
Kam, 12:56
tugas hukum bisnis dan etika bisnis
DARI nursiyo nursiyo KEPADA Anda
- Dari
- Ke
ARTIKEL TENTANG ETIKA BISNIS
MEMBANGUN
DAN MENGEMBANGKAN ETIKA BISNIS DALAM PERUSAHAAN
Di Indonesia tampaknya masalah penerapan etika perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata. Pada umumnya baru sampai tahap pernyataan-pernyaaatn atau sekedar “lips-service” belaka. Karena memang enforcement dari pemerintah pun belum tampak secara jelas.
Sesungguhnya Indonesia harus lebih awal menggerakan penerapan etika bisnis secara intensif terutama setelah tragedi krisis ekonomi tahun 1998. Sayangnya bangsa ini mudah lupa dan mudah pula memberikan maaf kepada suatu kesalahan yang menyebabkan bencana nasional sehingga penyebab krisis tidak diselesaikan secara tuntas dan tidak berdasarkan suatu pola yang mendasar. Sesungguhnya penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi, adalah tidak berfungsinya praktek etika bisnis secara benar, konsisten dan konsekwen. Demikian pula penyebab terjadinya kasus Pertamina tahun (1975), Bank Duta (1990) adalah serupa.
Praktek penerapan etika bisnis yang paling sering kita jumpai pada umunya diwujudkan dalam bentuk buku saku “code of conducts” atau kode etik dimasing-masing perusahaan. Hal ini barulah merupakan tahap awal dari praktek etika bisnis yakni mengkodifikasi-kan nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis bersama-sama corporate-culture atau budaya perusahaan, kedalam suatu bentuk pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan kegiatan bisnis.
Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal) tidak tergantung pada kedudukani individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan “grey-area” yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Menurut Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988) yang berjudul Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, membedakan antara ethics, morality dan law sebagai berikut :
- • Ethics is defined as the consensually accepted standards of behavior for an occupation, trade and profession
- • Morality is the precepts of personal behavior based on religious or philosophical grounds
- • Law refers to formal codes that permit or forbid certain behaviors and may or may not enforce ethics or morality.
Berdasarkan
pengertian tersebut, terdapat tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah
laku etika kita :
- Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensi nya. Oleh karena itu dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
- Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuan nya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
- Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Dari
pengelompokan tersebut Cavanagh (1990) memberikan cara menjawab permasalahan
etika dengan merangkum dalam 3 bentuk pertanyaan sederhana yakni :
- • Utility : Does it optimize the satisfactions of all stakeholders ?
- • Rights : Does it respect the rights of the individuals involved ?
- • Justice : Is it consistent with the canons oif justice ?
Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting saat ini? Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen.
Contoh kasus Enron yang selain menhancurkan dirinya telah pula menghancurkan Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen yang memiliki reputasi internasional, dan telah dibangun lebih dari 80 tahun, menunjukan bahwa penyebab utamanya adalah praktek etika perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya karena lemahnya kepemimpinan para pengelolanya. Dari pengalaman berbagai kegagalan tersebut, kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh cahaya dan kilatan suatu perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, karena berkilat belum tentu emas.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :
- • Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
- • Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.
- • Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga
- • Akan meningkatkan keunggulan bersaing.
Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yany tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :
- • Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
- • Memperkuat sistem pengawasan
- • Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.
Ketentuan
tersebut seharusnya diwajibkan untuk dilaksanakan, minimal oleh para pemegang
saham, sebagaimana dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di NYSE ( antara
lain PT. TELKOM dan PT. INDOSAT) dimana diwajibkan untuk membuat berbagai
peraturan perusahaan yang sangat ketat sesuai dengan ketentuan dari Sarbannes
Oxley yang diterbitkan dengan maksud untuk mencegah terulangnya kasus Enron dan
Worldcom.
Kesemuanya itu adalah dari segi korporasi, bagaimana penerapan untuk individu dalam korporasi tersebut ? Anjuran dari filosuf Immanual Kant yang dikenal dengan Golden Rule bisa sebagai jawabannya, yakni :
Kesemuanya itu adalah dari segi korporasi, bagaimana penerapan untuk individu dalam korporasi tersebut ? Anjuran dari filosuf Immanual Kant yang dikenal dengan Golden Rule bisa sebagai jawabannya, yakni :
- • Treat others as you would like them to treat you
- • An action is morally wrong for a person if that person uses others, merely as means for advancing his own interests.
Apakah untuk masa depan etika perusahaan ini masih diperlukan ? Bennis, Spreitzer dan Cummings (2001) menjawab “ Young leaders place great value on ethics. Ethical behavior was identified as a key characteristic of the leader of the future and was thought to be sorely lacking in current leaders.”
Dan kasus Enron pun merupakan pukulan berat bagi sekolah-sekolah bisnis karena ternyata etika belum masuk dalam kurikulum misalnya di Harvard Business School. Sebelumnya mahasiswa hanya beranggapan bahwa “ethics as being about not getting caught rather than how to do the right thing in the first place”.
sumber: http://kolom.pacific.net.id/ind/setyanto_p._santosa/artikel_setyanto_p._santosa/membangun_dan_mengembangkan_etika_bisnis_dalam_perusahaan.html
Artikel tentang Hukum Bisnis
Tenaga Kerja
Asing di Indonesia: Kebijakan dan Implementasi
Perkembangan globalisasi mendorong terjadinya
pergerakan aliran modal dan investasi ke berbagai penjuru dunia, terjadi pula
migrasi penduduk atau pergerakan tenaga kerja antar negara. Pergerakan tenaga
kerja tersebut berlangsung karena investasi yang dilakukan di negara lain pada
umumnya membutuhkan pengawasan secara langsung oleh pemilik/investor. Sejalan
dengan itu, demi menjaga kelangsungan usaha dan investasinya. Untuk menghindari
terjadinya permasalahan hukum serta penggunaan tenaga kerja asing yang
berlebihan, maka Pemerintah harus cermat menentukan policy yang akan di
ambil guna menjaga keseimbangan antara tenaga kerja asing (modal asing) dengan
tenaga kerja dalam negeri.
A. PENDAHULUAN
Menyadari kenyataan sejauh ini Indonesia masih
memerlukan investor asing, demikian juga dengan pengaruh globalisasi peradaban
dimana Indonesia sebagai negara anggota WTO harus membuka kesempatan masuknya
tenaga kerja asing. Untuk mengantisipasi hal tersebut diharapkan ada
kelengkapan peraturan yang mengatur persyaratan tenaga kerja asing, serta
pengamanan penggunaan tenaga kerja asing. Peraturan tersebut harus mengatur
aspek-aspek dasar dan bentuk peraturan yang mengatur tidak hanya di tingkat
Menteri, dengan tujuan penggunaan tenaga kerja asing secara selektif dengan
tetap memprioritaskan TKI.
Oleh karenanya dalam mempekerjakan tenaga kerja
asing, dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang sangat ketat, terutama
dengan cara mewajibkan bagi perusaahan atau korporasi yang mempergunakan tenaga
kerja asing bekerja di Indonesia dengan membuat rencana penggunaan tenaga kerja
asing (RPTKA) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Nomor
PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
B. PENGATURAN NASIONAL MENGENAI TENAGA
KERJA ASING
1. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP)
Berbeda dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang
menggunakan istilah tenaga kerja asing terhadap warga negara asing pemegang
visa dengan maksud bekerja di wilayah Negara Kesatuan Republik Indoensia
(NKRI), dalam Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga
Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP), menggunakan istilah tenaga warga
negara asing pendatang, yaitu tenaga kerja warga negara asing yang memiliki
visa tingal terbatas atau izin tinggal terbatas atau izin tetap untuk maksud
bekerja (melakukan pekerjaan) dari dalam wilayah Republik Indonesia (Pasal 1
angka 1). Istilah TKWNAP ini dianggap kurang tepat, karena seorang tenaga kerja
asing bukan saja datang (sebagai pendatang) dari luar wilayah Republik Idnonesia,
akan tetapi ada kemungkinan seorang tenaga kerja asing lahir dan bertempat
tinggal di Indonesia karena status keimigrasian orang tuanya (berdasarkan asas ius
soli atau ius sanguinis).
Pada prinsipnya, Keputusan Presiden Nomor 75
Tahun 1995 tentang penggunaan tenaga kerja warga negara asing pendatang adalah
mewajibkan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia di bidang dan jenis
pekerjaan yang tersedia kecuali jika ada bidang dan jenis pekerjaan yang
tersedia belum atau tidak sepenuhnya diisi oleh tenaga kerja Indonesia, maka
penggunaan tenaga kerja warga negara asing pendatang diperbolehkan sampai batas
waktu tertentu (Pasal 2). Ketentuan ini mengharapkan agar tenaga kerja
Indonesia kelak mampu mengadop skill tenaga kerja asing yang
bersangkutan dan melaksanakan sendiri tanpa harus melibatkan tenaga kerja
asing. Dengan demikian penggunaan tenaga kerja asing dilaksanakan secara
slektif dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Kerja
Asing (UUPTKA). Dalam perjalanannya, pengaturan mengenai penggunaan tenaga
kerja asing tidak lagi diatur dalam undang-undang tersendiri, namun sudah
merupakan bagian dari kompilasi dalam UU Ketenagakerjaan yang baru. Dalam UUK,
pengaturan Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dimuat pada Bab VIII, Pasal 42
sampai dengan Pasal 49. Pengaturan tersebut dimulai dari kewajiban pemberi
kerja yang menggunakan TKA untuk memperoleh izin tertulis; memiliki rencana
penggunaan TKA yang memuat alasan, jenis jabatan dan jangka waktu penggunaan
TKA; kewajiban penunjukan tenaga kerja WNI sebagai pendamping TKA; hingga
kewajiban memulangkan TKA ke negara asal setelah berakhirnya hubungan kerja.
UUK menegaskan bahwa setiap pengusaha dilarang
mempekerjakan orang-orang asing tanpa izin tertulis dari Menteri. Pengertian
Tenaga Kerja Asing juga dipersempit yaitu warga negara asing pemegang visa
dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Di dalam ketentuan tersebut
ditegaskan kembali bahwa setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja
asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Untuk memberikan kesempatan kerja yang lebih luas kepada tenaga kerja Indonesia
(TKI), pemerintah membatasi penggunaan tenaga kerja asing dan melakukan
pengawasan. Dalam rangka itu, Pemerintah mengeluarkan sejumlah perangkat hukum
mulai dari perizinan, jaminan perlindungan kesehatan sampai pada pengawasan.
Sejumlah peraturan yang diperintahkan oleh UUK antara lain :
1) Keputusan Menteri tentang Jabatan
Tertentu dan Waktu Tertentu (Pasal 42 ayat (5));
2) Keputusan Menteri tentang Tata
Cata Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Pasal 43 ayat (4));
3) Keputusan Menteri tentang Jabatan
dan Standar Kompetensi (Pasal 44 ayat (2));
4) Keputusan Menteri tentang
Jabatan-jabatan Tertentu yang Dilarang di Jabat oleh Tenaga Kerja Asing (Pasal
46 ayat (2));
5) Keputusan Menteri tentang
Jabatan-jabatan Tertentu di Lembaga Pendidikan yang Dibebaskan dari Pembayaran
Kompensasi (Pasal 47 ayat (3)).
6) Peraturan Pemerintah tentang
Besarnya Kompensasi dan Penggunaannya (Pasal 47 ayat 4).
7) Keputusan Presiden tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga
Kerja Pendamping (Pasal 49).
Sejak UUK diundangkan pada tanggal 25 Maret 2003,
telah dilahirkan beberapa peraturan pelaksana undang-undang tersebut[1],
antara lain :
1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 223/MEN/2003 Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan
yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 67/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Program JAMSOSTEK bagi
Tenaga Kerja Asing.
3) Peraturan Menteri Nomor
PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk memenuhi
kebutuhan pasar kerja nasional terutama dalam mengisi kekosongan keahlian dan
kompetensi di bidang tertentu yang tidak dapat ter-cover oleh tenaga kerja
Indonesia, maka tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia sepanjang
dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Mempekerjakan
tenaga kerja asing dapat dilakukan oleh pihak manapun sesuai dengan ketentuan
kecuali pemberi kerja orang perseorangan. Setiap pemberi kerja yang
mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau
pejabat yang ditunjuk kecuali terhadap perwakilan negara asing yang
mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu bagi tenaga kerja asing
ditetapkan dengan keputusan Menteri, yaitu Keputusan Menteri Nomor :
KEP-173/MEN/2000 tentang Jangka Waktu Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga
Negara Asing Pendatang.
Terhadap setiap pengajuan/rencana penggunaan
tenaga kerja asing di Indonesia harus dibatasi baik dalam jumlah maupun
bidang-bidang yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing. Hal itu bertujuan
agar kehadiran tenaga kerja asing di Indoesia bukanlah dianggap sebagai ancaman
yang cukup serius bagi tenaga kerja Indonesia, justru kehadiran mereka sebagai
pemicu bagi tenaga kerja Indonesia untuk lebih professional dan selalu menambah
kemampuan dirinya agar dapat bersaing baik antara sesama tenaga kerja Indonesia
maupun dengan tenaga kerja asing. Oleh karenanya UUK, membatasi jabatan-jabatan
yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing. Terhadap tenaga kerja asing
dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan
tertentu yang selanjutnya diatur dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 223 Tahun 2003 tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan
yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
Jabatan-jabatan yang dilarang (closed list)
ini harus diperhatikan oleh si pemberi kerja sebelum mengajukan penggunaan
tenaga kerja asing. Selain harus mentaati ketentuan tentang jabatan, juga harus
memperhatikan standar kompetansi yang berlaku. Ketentuan tentang jabatan dan
standar kompetensi didelegasikan ke dalam bentuk Keputusan Menteri. Namun dalam
prakteknya, kewenangan delegatif maupun atributif ini belum menggunakan aturan
yang sesuai dengan UUK.
Kahadiran tenaga kerja asing dapat dikatakan
sebagai salah satu pembawa devisa bagi negara dimana adanya pembayaran
kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakan. Pembayaran
kompensasi ini dikecualikan pada pemberi kerja tenaga kerja asing merupakan
instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional,
lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga
pendidikan[2].
Besanya dana kompensasi untuk tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebesar
US$15, sedangkan kompensasi untuk tenaga kerja asing di Indonesia sebesar
US$100[3].
Dalam rangka pelaksanaan Transfer of Knowledge dari tenaga kerja asing
kepada tenaga kerja Indonesia, kepada pemberi kerja diwajibkan untuk mengadakan
pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja pendamping (Pasal 49 UUK). Mengenai
hal ini diatur dengan Keputusan Presiden yang sampai saat ini belum ditetapkan.
3. Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008
Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Peraturan Menteri ini dikelurakan dalam rangka
pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) UUK. Dengan dikeluarkannya Peraturan
Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja
Asing ini maka beberapa peraturan sebelumnya
terkait dengan pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) UUK ini yakni : Keputusan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.228/MEN/2003 tentang Tata Cara
Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.20/MEN/III/2004 tentang Tata Cara Memperoleh
Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP.21/MEN/III/2004 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Sebagai Pemandu Nyanyi/Karaoke; Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER.15/MEN/IV/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan
Prosedur Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.34/MEN/III/2006 tentang
Ketentuan Pemberian Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) Kepada
Pengusaha Yang Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Pada Jabatan Direksi atau
Komisaris; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 44).
1)Tata Cara Permohonan Pengesahan RPTKA
Selain harus memiliki izin mempekerjakan tenaga
kerja asing, sebelumnya pemberi kerja harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga
Kerja Asing (RPTKA) yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 3 menyebutkan bahwa “pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA harus
memiliki RPTKA” yang digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan Izin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Untuk mendapatkan pengesahan RPTKA,
pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara tertulis yang dilengkapi
alasan penggunaan TKA dengan melampirkan :
- formulir RPTKA yang sudah dilengkapi;
- surat ijin usaha dari instansi yang berwenang;
- akte pendirian sebagai badan hukum yang sudah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
- keterangan domisili perusahaan dari pemerintah daerah setempat;
- bagan struktur organisasi perusahaan;
- surat penunjukan TKI sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan;
- copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di perusahaan; dan
- rekomendasi jabatan yang akan diduduki oleh TKA dari instansi tertentu apabila diperlukan.
Formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada huruf a
memuat :
- Identitas pemberi kerja TKA;
- Jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur bagan organisasi perusahaan yang bersangkutan;
- Besarnya upah TKA yang akan dibayarkan;
- Jumlah TKA;
- Lokasi kerja TKA;
- Jangka waktu penggunaan TKA;
- Penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan[4]; dan
- Rencana program pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Indonesia.
2) Pengesahan RPTKA
Dalam hal hasil penilaian kelayakan permohonan
RPTKA telah sesuai prosedur yang ditetapkan, Dirjen atau Direktur harus
menerbitkan keputusan pengesahan RPTKA. Penerbitan keputusan pengesahan RPTKA
dilakukan oleh Dirjen untuk permohonan penggunaan TKA sebanyak 50 (lima puluh)
orang atau lebih; serta Direktur untuk permohonan penggunaan TKA yang kurang
dari 50 (lima puluh) orang. Keputusan pengesahan RPTKA ini memuat :
- Alasan penggunaan TKA;
- Jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;
- Besarnya upah TKA;
- Jumlah TKA;
- Lokasi kerja TKA;
- Jangka waktu penggunaan TKA;
- Jumlah TKI yang ditunjuk sebagai pendamping TKA[5]; dan
- Jumlah TKI yang dipekerjakan.
3) Perubahan RPTKA
Pemberi kerja TKA dapat mengajukan permohonan
perubahan RPTKA sebelum berakhirnya jangka waktu RPTKA. Perubahan RPTKA
tersebut meliputi :
a. penambahan, pengurangan jabatan beserta jumlah
TKA;
b. perubahan jabatan; dan/atau
c. perubahan lokasi kerja.
4) Persyaratan TKA
Bagi Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakan oleh
pemberi kerja wajib memenuhi persyaratan yakni: memiliki pendidikan dan/atau
pengalaman kerja sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun yang sesuai dengan jabatan
yang akan didudukinya; bersedia membuat pernyataan untuk mengalihkan
keahliannya kepada tenaga kerja warga negara Indonesia khususnya Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) pendamping; dan dapat berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia.
5) Perijinan
Ijin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA)
diberikan oleh Direktur Pengadaan dan Penggunaan Tenaga Kerja Kementerian
Tenaga kerja dan Transmigrasi kepada pemberi kerja tenaga kerja asing[6],
dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk mendapatkan rekomendasi visa
(TA-01) dengan melampirkan (Pasal 23) :
- Copy Surat Keputusan Pengesahan RPTKA;
- Copy paspor TKA yang akan dipekerjakan;
- Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
- Copy ijasah dan/atau keterangan pengalaman kerja TKA yang akan dipekerjakan;
- Copy surat penunjukan tenaga kerja pendamping; dan
- Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 1 (satu) lembar.
Dalam hal Ditjen Imigrasi telah mengabulkan
permohonan visa untuk dapat bekerja atas nama TKA yang bersangkutan dan
menerbitkan surat pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa, maka
pemberi kerja TKA mengajukan permohonan IMTA dengan melampirkan (Pasal 24):
- copy draft perjanjian kerja;
- bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
- copy polis asuransi;
- copy surat pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa; dan
- foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 2 (dua) lembar[7].
6) Perpanjangan IMTA
Mengenai perpanjangan Ijin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing (IMTA) diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28. IMTA dapat diperpanjang
paling lama 1 (satu) tahun, bila masa berlaku IMTA belum berakhir. Oleh karena
itu permohonan perpanjangan IMTA selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
sebelum jangka waktu berlakunya IMTA berakhir. Permohonan perpanjangan IMTA
dilakukan dengan mengisi formulir perpanjangan IMTA dengan melampirkan :
- Copy IMTA yang masih berlaku;
- Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
- Copy polis asuransi;
- Pelatihan kepada TKI pendamping;
- Copy keputusan RPTKA yang masih berlaku; dan
- Foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
Perpanjangan IMTA diterbitkan oleh :
- Direktur untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah propinsi;
- Gubernur atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) provinsi;
- Bupati/Walikota atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota;
7) IMTA Untuk Pekerjaan Darurat
Pekerjaan yang bersifat darurat atau
pekerjaan-pekerjaan yang apabila tidak ditangani secara langsung mengakibatkan
kerugian fatal bagi masyarakat umum dan jangka waktunya tidak lebih dari 30
(tiga puluh) hari, yang mana jenis pekerjaan mendesak itu ditetapkan oleh
instansi pemerintah yang membidangi sektor usaha yang bersangkutan. Permohonan
pengajuan IMTA yang bersifat mendesak ini disampaikan kepada Direktur dengan
melampirkan :
- Rekomendasi dari instansi pemerintah yang berwenang;
- Copy polis asuransi;
- Fotocopy paspor TKA yang bersangkutan;
- Pasfoto TKA ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;
- Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui bank yang ditunjuk oleh Menteri; dan
- Bukti ijin keimigrasian yang masih berlaku.
8) IMTA Untuk Kawasan Ekonomi Khusus
Untuk memperoleh IMTA bagi TKA yang bekerja di
kawasan ekonomi khusus, pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Pejabat yang ditunjuk di kawasan ekonomi khusus. Tata cara
memperoleh IMTA di kawasan ekonomi khusus mengikuti ketentuan dalam poin 5
(lima).
9) IMTA Untuk Pemegang Kartu Izin Tinggal Tetap
(KITAP)
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA
pemegang ijin tinggal tetap wajib mengajukan permohonan kepada Direktur dengan
melampirkan :
- Copy RPTKA yang masih berlaku;
- Copy izin tinggal tetap yang masih berlaku;
- Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
- Copy ijasah atau pengalaman kerja;
- Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
- Copy polis asuransi; dan
- Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar.
10) IMTA Untuk Pemandu Nyanyi/Karaoke
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA sebagai
pemandu nyanyi/karaoke wajib memiliki ijin tertulis dari Direktur. Jangka waktu
penggunaan TKA sebagai pemandu nyanyi/karaoke diberikan paling lama 6
(enam) bulan dan tidak dapat diperpanjang. Untuk menjapatkan ijin pemberi kerja
TKA harus mengajukan permohonan IMTA dengan melampirkan :
- Copy ijin tempat usaha yang memiliki fasilitas karaoke;
- RPTKA yang telas disahkan oleh direktur;
- Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
- Copy polis asuransi; dan
- Perjanjian kerja TKA dengan pemberi kerja.
11) Alih Status
Pemberi kerja TKA instansi pemerintah atau
lembaga pemerintah atau badan internasional yang akan memindahkan TKA yang
dipekerjakannya ke instansi pemerintah atau lembaga pemerintah atau badan
internasional lainnya harus mengajukan permohonan rekomendasi alih status
kepada Direktur. Rekomendasi disampaikan kepada Direktur Jenderal Imigrasi
untuk perubahan KITAS/KITAP yang digunakan sebagai dasar perubahan IMTA atau
penerbitan IMTA baru.
12) Perubahan Nama Pemberi Kerja
Dalam hal pemberi kerja TKA berganti nama,
pemberi kerja harus mengajukan permohonan perubahan RPTKA kepada Direktur
Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi. Setelah RPTKA disetujui, Direktur Penyediaan dan penggunaan
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan rekomendasi kepada
Direktur Jenderal Imigrasi untuk mengubah KITAS/KITAP sebagai dasar perubahan
IMTA, dengan terlebih dahulu menyampaikan permohonan dengan melampirkan :
- Copy RPTKA yang masih berlaku;
- Copy KITAS/KITAP yang masih berlaku;
- Copy IMTA yang masih berlaku;
- Copy bukti perubahan nama perusahaan yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang.
13) Perubahan lokasi Kerja
Dalam hal pemberi kerja melakukan perubahan
lokasi kerja TKA, pemberi kerja wajib mengajukan permohonan perubahan lokasi
kerja TKA kepada Direktur Penyediaan dan Penggunaan tenaga Kerja Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan melampirkan copy RPTKA dan IMTA yang masih
berlaku.
14) Pelaporan
Pemberi kerja TKA wajib melaporkan penggunaan TKA
dan pendamping TKA di perusahaan secara periodik 6 (enam) bulan sekali kepada
Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Dirjen.
Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota melaporkan IMTA yang diterbitkan
secara periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri dengan tembusan kepada
Dirjen.
15) Pengawasan
Pengawasan terhadap pemberi kerja yang
mempekerjakan TKA dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
16) Pencabutan Ijin
Dalam hal pemberi kerja mempekerjakan TKA tidak
sesuai dengan IMTA, Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota berwenang
mencabut IMTA.
C. IMPLEMENTASI
Sejak amandemen UUD 1945, asas otonomi daerah
mendapatkan posisinya dalam Pasal 18 tentang pemerintah daerah dan
dikembangkannya sistem pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lima hal pokok yang menjadi
kewenangan Pusat Menyusul diberlakukannya otonomi daerah ini adalah luar
negeri, pertahanan dan keamanan, moneter, kehakiman, dan fiskal. Masalah
ketenagakerjaan pun menjadi lingkup kewenangan pemerintah daerah, dengan
menempatkannya dalam struktur organisasi dan tata kerja dalam struktur “dinas”.
Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor
PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, pengajuan
mempergunakan tenaga kerja asing untuk pertama kalinya diajukan kepada Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, selanjutnya untuk perpanjangan diajukan dan
diberikan oleh Direktur atau Gubernur/Walikota. Kondisi ini telah melahirkan
masalah baru di daerah. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Kota Batam,
Sebelum diberlakukannya UUK, Pemerintah Daerah melalui seksi penempatan kerja
dan tenaga kerja asing memiliki tugas dan wewenang dalam proses pemberian izin
tenaga kerja asing di Kota Batam. Akan tetapi setelah diberlakukannya UUK,
tugas dan kewenangan seksi tereliminir. Para pengusaha yang akan mempekerjakan
tenaga kerja asing pun harus menyeberang pulau menenuju Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi di Jakarta. Tentu saja dengan mekanisme baru ini
membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Apa lagi birokrasi di
Kementerian kita masih dinilai negatif; urusan yang mudah justru dipersulit. Kerumitan
yang dipandang oleh para pengusaha yang akan meminta izin mempekerjakan tenaga
kerja asing ini menjadi sorotan terutama bagi kementerian yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan untuk dapat meningkatkan kinerjanya dalam
memberikan pelayanan khususnya pemberian izin mempekerjakan tenaga kerja asing[8].
Selanjutnya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
menerbitkan Surat Keputusan Nomor B.388/MEN/TKDN/VI/2005 tanggal 21 Juli 2005
yang telah disosialisasikan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Batam. SK ini pun
mendapat tanggapan keras dari kalangan pengusaha di Batam untuk dapat meninjau
kembali tentang pengesahan RPTKA. Keberatan lain yang menjadi point penting
adalah biaya yang cukup besar untuk mengurus pengajuan dan izin penggunaan
tenaga kerja asing. Pengurusan izin penempatan tenaga kerja asing juga muncul
sehubungan dengan pendapatan asli daerah (PAD) karena di dalam kaitannya dengan
dana kompensasi di Provinsi Jawa Timur terdapat sedikitnya 1400 tenaga kerja
asing yang tersebar di wilayah Kabupaten/Kota[9].
Berkaitan dengan keberadaan tenaga kerja asing tersebut maka Pemerintah
Provinsi Jawa Timur membuat Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Izin Kerja
Perpanjangan Sementara dan Mendesak Bagi tenaga Kerja Warga Negara Asing
Pendatang; yang substansinya memberikan pembebanan kepada pengguna tenaga kerja
asing di Jawa Timur untuk membayar dana kompensasi kepada pemerintah daerah
provinsi dan hasil dana kompensasi tersebut dibagi secara proporsional kepada
setiap Kabupaten/Kota yang terdapat di wilayah Provinsi Jawa Timur.
Contoh lain terdapat di Kabupaten Bekasi yang
sebagian ruang wilayah diperuntukkan bagi kawasan industri, maka dengan
didirikannya berbagai perusahaan industri, dampaknya terdapat tenaga kerja
asing yang bekerja di perusahaan-perusahaan industri di wilayah Bekasi. Di Kabupaten
Bekasi sedikitnya terdapat 1500 tenaga kerja asing, dari jumlah tersebut
sebagian besar tenaga kerja asing tersebut berasal dari Korea dan Jepang[10].
Terkait TKA di Kabupaten Bekasi diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun
2001 tentang Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Asing, salah satu substansi
pengaturannya berkaitan dengan kewajiban sertiap warga negara asing yang
bekerja di wilayah Kabupaten Bekasi untuk menyetor uang sebesar US$100 per
bulan kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi. Secara ekonomis ketentuan tersebut
menghasilkan dana untuk pemerintah Kabupaten, karena dimasukkan ke dalam
Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bekasi dan secara tidak
langsung Mekanisme tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk dari pengawasan
tidak langsung, karena setiap bulan akan diketahui berapa jumlah tenaga kerja
asing yang ada di Kabupaten Bekasi. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah dana
yang Disetor setiap bulan dari para pengusaha kawasan industri di Kabupaten
bekasi ke Kas Pemda Bekasi.
Namun demikian menurut Pemda Bekasi keberadaan
tenaga kerja asing di Bekasi belum memberikan keuntungan bagi pembangunan di
wilayahnya, Salah satu alasannya pemasukan pajak tenaga kerja asing sebesar Rp
23 milyar wajib disetor ke Pemerintah Pusat, karena berdasarkan audit Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) Tahun 2005 dana tersebut merupakan pendapatan non
pajak dan hak pemerintah pusat. BPK mengatakan dana tersebut bersumber dari
dana pengembangan ketrampilan kerja (DPKK), padahal dana tersebut merupakan
uang hasil pungutan dari seluruh tenaga kerja asing yang bekerja di wilayah
Bekasi. Perda Nomor 19 Tahun 2001 mempertimbangkan Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999, Dalam undang-undang tersebut disebutkan daerah memiliki kewenangan
mengatur keberadaan tenaga kerja asing demi pembangunan daerah, hal ini berarti
pungutan yang berasal dari tenaga kerja asing seharusnya juga menjadi sumber
pendapatan asli daerah. Sedangkan pemerintah Pusat melalui Kementerian Keuangan
menyatakan pungutan terhadap tenaga kerja asing sebagai pendapatan non pajak
Kementerian Keuangan menyatakan pungutan tersebut harus di setor kepada
Pemerintah Pusat.
Dengan demikian terjadi perbedaan pemahaman
antara Pusat dan Daerah soal tenaga kerja asing yang dapat menimbulkan
permasalahan dan ketidakpastian hukum. Hal tersebut tidak perlu terjadi karena
dengan tuntutan instansi/lembaga pemerintah di daerah untuk menjalankan otonomi
di daerahnya, dalam rangka ketenagakerjaan telah dikeluarkan Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 130-67 Tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan
Kota. Pada Lampairan Keputusan Mendagri, khususnya Pada Bidang Ketenagakerjaan
angka romawi I huruf A: Penempatan dan pendayagunaan, angka 7 : Perizinan dan
Pengawasan, perpanjangan izin penggunaan tenaga Kerja asing, disebutkan bahwa
kewenangan yang dilimpahkan kepada Kabupaten/Kota adalah :
- Penelitian pelengkapan persyaratan perizinan (IKTA);
- Analisis jabatan yang akan diisi oleh tenaga kerja asing
- Pengecekan kesesuaian jabatan dengan Positif List tenbaga kerja asing yang akan dikeluarkan oleh DEPNAKER;
- Pemberian perpanjangan izin (Perpanjangan IMTA);
- Pemantauan pelaksanaan kerja tenaga kerja asing; dan
- Pemberian rekomendasi IMTA.
Terkait permohonan IKTA dalam rangka penenaman
modal asing, didasarkan pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan
Koperasi Nomor KEP-105/MEN/1977 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin
Kerja Bagi tenaga Kerja Asing yang akan bekerja dalam rangka Koordinasi
penanaman modal, diatur bahwa IKTA dikeluarkan oleh Ketua Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM). Namun berdasarkan Kepmenaker Nomor KEP-03/MEN/1990
bahwa permohonan IKTA yang diajukan oleh pemohon yang merupakan perusahaan
dalam rangka PMA dan PMDN, disampaikan kepada Ketua BKPM (Pasal 9 ayat 2).
Kemudian Ketua BKPM atas nama Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan IKTA dengan
tembusan disampaikan kepada instansi teknis (Pasal 10 ayat 2 dan 3).
Selanjutnya pengaturan secara teknis tentang tata
cara permohonan penyelesaian IKTA bagi perusahaan dalam rangka PMA dan PMDN,
wajib menyesuaikan dan mengikuti ketentuan dalam Kepmenaker Nomor
KEP-416/MEN/1990 (Pasal 21). Namun berdasarkan Kepmenaker Nomor
KEP-169/MEN/2000 tentang Pencabutan Kepmenaker Nomor KEP-105/MEN/1977 Tentang
pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Kerja bagi Tenaga Kerja Asing yang akan
bekerja dalam rangka Koordinasi Penanaman Modal dan Kepmenaker Nomor
KEP-105/MEN/1985 tentang Penunjukan Ketua BKPM untuk mensahkan (RPTKA) dalam
rangka penanaman modal, mencabut wewenang pemberian izin kerja (IKTA) oleh
Ketua BKPM dalam rangka penanaman modal (sejak tanggal 1 Juli 2000).
Selanjutnya pemberian IKTA dilaksanakan oleh Menteri Tenaga Kerja sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. PENUTUP
Berdasarkan uraian terdahulu, dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
- ketentuan mengenai tenaga kerja asing di Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, tidak diatur lagi dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri seperti dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1958 tentang penempatan tenaga kerja asing, tetapi merupakan bagian dari kompilasi dalam UUK yang baru tersebut. Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing dimuat pada Bab VIII Pasal 42 sampai dengan Pasal 49. Namun demikian untuk dapat melaksanakan undang-undang yang baru masih banyak kendala terutama dalam menggalakkan investasi karena sejumlah peraturan yang melengkapi kelancaran program penggunaan tenaga kerja asing belum siap, sejauh ini baru Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang sudah ada disamping 3 Permenaker yang lain untuk mengisi kekosongan hukum dengan belum terbitnya peraturan-peraturan yang diperlukan maka peraturan yang lama sementara masih diberlakukan.
- Penempatan tenaga kerja asing dapat dilakukan setelah pengajuan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) disetujui oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan mengeluarkan izin penggunaan tenaga kerja asing. Untuk dapat bekerja di Indonesia, tenaga kerja asing tersebut harus mempunyai izin tinggal terbatas (KITAS) yang terlebih dahulu harus mempunyai visa untuk bekerja di Indonesia atas nama tenaga kerja asing yang bersangkutan untuk dikeluarkan izinnya oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
- Tenaga ahli yang didatangkan dari luar negeri oleh perusahaan pemerintah/swasta hendaknya benar-benar tenaga ahli yang terampil sehingga dapat membatu proses pembangunan ekonomi dan teknologi di Indonesia. Untuk itu proses alih teknologinya kepada TKI baik dalam jalur menajerial maupun profesionalnya harus mendapat pengawasan yang ketat dengan memberikan sertifikasi kepada tenaga ahli tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Laporan, “Survey Nasional Tenaga Kerja Asing
di Indonesia”, Bank Indonesia, Tahun 2009.
Laporan Akhir Penelitian: Permasalahan Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia, BPHN, Tahun 2005.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP)
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor M.01.HT.04.02 Tahun 1997 Penggunaan Ahli Hukum Warga Negara Asing oleh
Kantor Konsultan Hukum Indonesia
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigarasi
Nomor 223 Tahun 2003 Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang
Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor
M.09-Pr.07.10 Tahun 2007 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Hukum dan
HAM RI
Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008
Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Kompas.com, Dilema Indonesia dalam ACFTA,
diakses tanggal 11 Mei 2011
http://www.tempointeraktif.com, diakses
tanggal 22 Mei 2011.
0 komentar:
Post a Comment