ARTIKEL TENTANG ETIKA BISNIS 

 
MEMBANGUN DAN MENGEMBANGKAN ETIKA BISNIS DALAM PERUSAHAAN


Di Indonesia tampaknya masalah penerapan etika perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata. Pada umumnya baru sampai tahap pernyataan-pernyaaatn atau sekedar “lips-service” belaka. Karena memang enforcement dari pemerintah pun belum tampak secara jelas.

Sesungguhnya Indonesia harus lebih awal menggerakan penerapan etika bisnis secara intensif terutama setelah tragedi krisis ekonomi tahun 1998. Sayangnya bangsa ini mudah lupa dan mudah pula memberikan maaf kepada suatu kesalahan yang menyebabkan bencana nasional sehingga penyebab krisis tidak diselesaikan secara tuntas dan tidak berdasarkan suatu pola yang mendasar. Sesungguhnya penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi, adalah tidak berfungsinya praktek etika bisnis secara benar, konsisten dan konsekwen. Demikian pula penyebab terjadinya kasus Pertamina tahun (1975), Bank Duta (1990) adalah serupa.

Praktek penerapan etika bisnis yang paling sering kita jumpai pada umunya diwujudkan dalam bentuk buku saku “code of conducts” atau kode etik dimasing-masing perusahaan. Hal ini barulah merupakan tahap awal dari praktek etika bisnis yakni mengkodifikasi-kan nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis bersama-sama corporate-culture atau budaya perusahaan, kedalam suatu bentuk pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan kegiatan bisnis.

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal) tidak tergantung pada kedudukani individu ataupun perusahaan di masyarakat.

Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan “grey-area” yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.

Menurut Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988) yang berjudul Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, membedakan antara ethics, morality dan law sebagai berikut :
  • • Ethics is defined as the consensually accepted standards of behavior for an occupation, trade and profession
  • • Morality is the precepts of personal behavior based on religious or philosophical grounds
  • • Law refers to formal codes that permit or forbid certain behaviors and may or may not enforce ethics or morality.
Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika kita :
  1. Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensi nya. Oleh karena itu dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
  2. Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuan nya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
  3. Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Dari pengelompokan tersebut Cavanagh (1990) memberikan cara menjawab permasalahan etika dengan merangkum dalam 3 bentuk pertanyaan sederhana yakni :
  • Utility : Does it optimize the satisfactions of all stakeholders ?
  • Rights : Does it respect the rights of the individuals involved ?
  • Justice : Is it consistent with the canons oif justice ?

Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting saat ini? Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen.
Contoh kasus Enron yang selain menhancurkan dirinya telah pula menghancurkan Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen yang memiliki reputasi internasional, dan telah dibangun lebih dari 80 tahun, menunjukan bahwa penyebab utamanya adalah praktek etika perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya karena lemahnya kepemimpinan para pengelolanya. Dari pengalaman berbagai kegagalan tersebut, kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh cahaya dan kilatan suatu perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, karena berkilat belum tentu emas.

Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :
  • • Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
  • • Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.
  • • Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga
  • • Akan meningkatkan keunggulan bersaing.

Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yany tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :
  • • Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
  • • Memperkuat sistem pengawasan
  • • Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.
Ketentuan tersebut seharusnya diwajibkan untuk dilaksanakan, minimal oleh para pemegang saham, sebagaimana dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di NYSE ( antara lain PT. TELKOM dan PT. INDOSAT) dimana diwajibkan untuk membuat berbagai peraturan perusahaan yang sangat ketat sesuai dengan ketentuan dari Sarbannes Oxley yang diterbitkan dengan maksud untuk mencegah terulangnya kasus Enron dan Worldcom.
Kesemuanya itu adalah dari segi korporasi, bagaimana penerapan untuk individu dalam korporasi tersebut ? Anjuran dari filosuf Immanual Kant yang dikenal dengan Golden Rule bisa sebagai jawabannya, yakni :
  • • Treat others as you would like them to treat you
  • • An action is morally wrong for a person if that person uses others, merely as means for advancing his own interests.

Apakah untuk masa depan etika perusahaan ini masih diperlukan ? Bennis, Spreitzer dan Cummings (2001) menjawab “ Young leaders place great value on ethics. Ethical behavior was identified as a key characteristic of the leader of the future and was thought to be sorely lacking in current leaders.”
Dan kasus Enron pun merupakan pukulan berat bagi sekolah-sekolah bisnis karena ternyata etika belum masuk dalam kurikulum misalnya di Harvard Business School. Sebelumnya mahasiswa hanya beranggapan bahwa “ethics as being about not getting caught rather than how to do the right thing in the first place”.

sumber: http://kolom.pacific.net.id/ind/setyanto_p._santosa/artikel_setyanto_p._santosa/membangun_dan_mengembangkan_etika_bisnis_dalam_perusahaan.html
 

Artikel tentang Hukum Bisnis
Tenaga Kerja Asing di Indonesia: Kebijakan dan Implementasi
Perkembangan globalisasi mendorong terjadinya pergerakan aliran modal dan investasi ke berbagai penjuru dunia, terjadi pula migrasi penduduk atau pergerakan tenaga kerja antar negara. Pergerakan tenaga kerja tersebut berlangsung karena investasi yang dilakukan di negara lain pada umumnya membutuhkan pengawasan secara langsung oleh pemilik/investor. Sejalan dengan itu, demi menjaga kelangsungan usaha dan investasinya. Untuk menghindari terjadinya permasalahan hukum serta penggunaan tenaga kerja asing yang berlebihan, maka Pemerintah harus cermat menentukan policy yang akan di ambil guna menjaga keseimbangan antara tenaga kerja asing (modal asing) dengan tenaga kerja dalam negeri.
 
A. PENDAHULUAN
Menyadari kenyataan sejauh ini Indonesia masih memerlukan investor asing, demikian juga dengan pengaruh globalisasi peradaban dimana Indonesia sebagai negara anggota WTO harus membuka kesempatan masuknya tenaga kerja asing. Untuk mengantisipasi hal tersebut diharapkan ada kelengkapan peraturan yang mengatur persyaratan tenaga kerja asing, serta pengamanan penggunaan tenaga kerja asing. Peraturan tersebut harus mengatur aspek-aspek dasar dan bentuk peraturan yang mengatur tidak hanya di tingkat Menteri, dengan tujuan penggunaan tenaga kerja asing secara selektif dengan tetap memprioritaskan TKI.
Oleh karenanya dalam mempekerjakan tenaga kerja asing, dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang sangat ketat, terutama dengan cara mewajibkan bagi perusaahan atau korporasi yang mempergunakan tenaga kerja asing bekerja di Indonesia dengan membuat rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
B. PENGATURAN NASIONAL MENGENAI TENAGA KERJA ASING
1. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP)
Berbeda dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menggunakan istilah tenaga kerja asing terhadap warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Negara Kesatuan Republik Indoensia (NKRI), dalam Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP), menggunakan istilah tenaga warga negara asing pendatang, yaitu tenaga kerja warga negara asing yang memiliki visa tingal terbatas atau izin tinggal terbatas atau izin tetap untuk maksud bekerja (melakukan pekerjaan) dari dalam wilayah Republik Indonesia (Pasal 1 angka 1). Istilah TKWNAP ini dianggap kurang tepat, karena seorang tenaga kerja asing bukan saja datang (sebagai pendatang) dari luar wilayah Republik Idnonesia, akan tetapi ada kemungkinan seorang tenaga kerja asing lahir dan bertempat tinggal di Indonesia karena status keimigrasian orang tuanya (berdasarkan asas ius soli atau ius sanguinis).
Pada prinsipnya, Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang penggunaan tenaga kerja warga negara asing pendatang adalah mewajibkan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia di bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia kecuali jika ada bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia belum atau tidak sepenuhnya diisi oleh tenaga kerja Indonesia, maka penggunaan tenaga kerja warga negara asing pendatang diperbolehkan sampai batas waktu tertentu (Pasal 2). Ketentuan ini mengharapkan agar tenaga kerja Indonesia kelak mampu mengadop skill tenaga kerja asing yang bersangkutan dan melaksanakan sendiri tanpa harus melibatkan tenaga kerja asing. Dengan demikian penggunaan tenaga kerja asing dilaksanakan secara slektif dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Kerja Asing (UUPTKA). Dalam perjalanannya, pengaturan mengenai penggunaan tenaga kerja asing tidak lagi diatur dalam undang-undang tersendiri, namun sudah merupakan bagian dari kompilasi dalam UU Ketenagakerjaan yang baru. Dalam UUK, pengaturan Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) dimuat pada Bab VIII, Pasal 42 sampai dengan Pasal 49. Pengaturan tersebut dimulai dari kewajiban pemberi kerja yang menggunakan TKA untuk memperoleh izin tertulis; memiliki rencana penggunaan TKA yang memuat alasan, jenis jabatan dan jangka waktu penggunaan TKA; kewajiban penunjukan tenaga kerja WNI sebagai pendamping TKA; hingga kewajiban memulangkan TKA ke negara asal setelah berakhirnya hubungan kerja.
UUK menegaskan bahwa setiap pengusaha dilarang mempekerjakan orang-orang asing tanpa izin tertulis dari Menteri. Pengertian Tenaga Kerja Asing juga dipersempit yaitu warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Di dalam ketentuan tersebut ditegaskan kembali bahwa setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Untuk memberikan kesempatan kerja yang lebih luas kepada tenaga kerja Indonesia (TKI), pemerintah membatasi penggunaan tenaga kerja asing dan melakukan pengawasan. Dalam rangka itu, Pemerintah mengeluarkan sejumlah perangkat hukum mulai dari perizinan, jaminan perlindungan kesehatan sampai pada pengawasan. Sejumlah peraturan yang diperintahkan oleh UUK antara lain :
1)   Keputusan Menteri tentang Jabatan Tertentu dan Waktu Tertentu (Pasal 42 ayat (5));
2)   Keputusan Menteri tentang Tata Cata Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Pasal 43 ayat (4));
3)   Keputusan Menteri tentang Jabatan dan Standar Kompetensi (Pasal 44 ayat (2));
4)   Keputusan Menteri tentang Jabatan-jabatan Tertentu yang Dilarang di Jabat oleh Tenaga Kerja Asing (Pasal 46 ayat (2));
5)   Keputusan Menteri tentang Jabatan-jabatan Tertentu di Lembaga Pendidikan yang Dibebaskan dari Pembayaran Kompensasi (Pasal 47 ayat (3)).
6)   Peraturan Pemerintah tentang Besarnya Kompensasi dan Penggunaannya (Pasal 47 ayat 4).
7)   Keputusan Presiden tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping (Pasal 49).
Sejak UUK diundangkan pada tanggal 25 Maret 2003, telah dilahirkan beberapa peraturan pelaksana undang-undang tersebut[1], antara lain :
1)  Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 223/MEN/2003 Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
2)  Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 67/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Program JAMSOSTEK bagi Tenaga Kerja Asing.
3) Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja nasional terutama dalam mengisi kekosongan keahlian dan kompetensi di bidang tertentu yang tidak dapat ter-cover oleh tenaga kerja Indonesia, maka tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia sepanjang dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Mempekerjakan tenaga kerja asing dapat dilakukan oleh pihak manapun sesuai dengan ketentuan kecuali pemberi kerja orang perseorangan. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk kecuali terhadap perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu bagi tenaga kerja asing ditetapkan dengan keputusan Menteri, yaitu Keputusan Menteri Nomor : KEP-173/MEN/2000 tentang Jangka Waktu Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang.
Terhadap setiap pengajuan/rencana penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia harus dibatasi baik dalam jumlah maupun bidang-bidang yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing. Hal itu bertujuan agar kehadiran tenaga kerja asing di Indoesia bukanlah dianggap sebagai ancaman yang cukup serius bagi tenaga kerja Indonesia, justru kehadiran mereka sebagai pemicu bagi tenaga kerja Indonesia untuk lebih professional dan selalu menambah kemampuan dirinya agar dapat bersaing baik antara sesama tenaga kerja Indonesia maupun dengan tenaga kerja asing. Oleh karenanya UUK, membatasi jabatan-jabatan yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing. Terhadap tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu yang selanjutnya diatur dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 223 Tahun 2003 tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
Jabatan-jabatan yang dilarang (closed list) ini harus diperhatikan oleh si pemberi kerja sebelum mengajukan penggunaan tenaga kerja asing. Selain harus mentaati ketentuan tentang jabatan, juga harus memperhatikan standar kompetansi yang berlaku. Ketentuan tentang jabatan dan standar kompetensi didelegasikan ke dalam bentuk Keputusan Menteri. Namun dalam prakteknya, kewenangan delegatif maupun atributif ini belum menggunakan aturan yang sesuai dengan UUK.
Kahadiran tenaga kerja asing dapat dikatakan sebagai salah satu pembawa devisa bagi negara dimana adanya pembayaran kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakan. Pembayaran kompensasi ini dikecualikan pada pemberi kerja tenaga kerja asing merupakan instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan[2]. Besanya dana kompensasi untuk tenaga kerja Indonesia di luar negeri sebesar US$15, sedangkan kompensasi untuk tenaga kerja asing di Indonesia sebesar US$100[3]. Dalam rangka pelaksanaan Transfer of Knowledge dari tenaga kerja asing kepada tenaga kerja Indonesia, kepada pemberi kerja diwajibkan untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja pendamping (Pasal 49 UUK). Mengenai hal ini diatur dengan Keputusan Presiden yang sampai saat ini belum ditetapkan.
3. Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Peraturan Menteri ini dikelurakan dalam rangka pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) UUK. Dengan dikeluarkannya  Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing ini maka beberapa peraturan sebelumnya terkait dengan pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) UUK ini yakni : Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.20/MEN/III/2004 tentang Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.21/MEN/III/2004 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing Sebagai Pemandu Nyanyi/Karaoke; Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.15/MEN/IV/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.34/MEN/III/2006 tentang Ketentuan Pemberian Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) Kepada Pengusaha Yang Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Pada Jabatan Direksi atau Komisaris; dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 44).
1)Tata Cara Permohonan Pengesahan RPTKA
Selain harus memiliki izin mempekerjakan tenaga kerja asing, sebelumnya pemberi kerja harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 3 menyebutkan bahwa “pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA harus memiliki RPTKA” yang digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Untuk mendapatkan pengesahan RPTKA, pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara tertulis yang dilengkapi alasan penggunaan TKA dengan melampirkan :
  1. formulir RPTKA yang sudah dilengkapi;
  2. surat ijin usaha dari instansi yang berwenang;
  3. akte pendirian sebagai badan hukum yang sudah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
  4. keterangan domisili perusahaan dari pemerintah daerah setempat;
  5. bagan struktur organisasi perusahaan;
  6. surat penunjukan TKI sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan;
  7. copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di perusahaan; dan
  8. rekomendasi jabatan yang akan diduduki oleh TKA dari instansi tertentu apabila diperlukan.
Formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada huruf a memuat :
  1. Identitas pemberi kerja TKA;
  2. Jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur bagan organisasi perusahaan yang bersangkutan;
  3. Besarnya upah TKA yang akan dibayarkan;
  4. Jumlah TKA;
  5. Lokasi kerja TKA;
  6. Jangka waktu penggunaan TKA;
  7. Penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan[4]; dan
  8. Rencana program pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Indonesia.
2) Pengesahan RPTKA
Dalam hal hasil penilaian kelayakan permohonan RPTKA telah sesuai prosedur yang ditetapkan, Dirjen atau Direktur harus menerbitkan keputusan pengesahan RPTKA. Penerbitan keputusan pengesahan RPTKA dilakukan oleh Dirjen untuk permohonan penggunaan TKA sebanyak 50 (lima puluh) orang atau lebih; serta Direktur untuk permohonan penggunaan TKA yang kurang dari 50 (lima puluh) orang. Keputusan pengesahan RPTKA ini memuat :
  1. Alasan penggunaan TKA;
  2. Jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;
  3. Besarnya upah TKA;
  4. Jumlah TKA;
  5. Lokasi kerja TKA;
  6. Jangka waktu penggunaan TKA;
  7. Jumlah TKI yang ditunjuk sebagai pendamping TKA[5]; dan
  8. Jumlah TKI yang dipekerjakan.
3) Perubahan RPTKA
Pemberi kerja TKA dapat mengajukan permohonan perubahan RPTKA sebelum berakhirnya jangka waktu RPTKA. Perubahan RPTKA tersebut meliputi :
a. penambahan, pengurangan jabatan beserta jumlah TKA;
b. perubahan jabatan; dan/atau
c. perubahan lokasi kerja.
4) Persyaratan TKA
Bagi Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi persyaratan yakni: memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun yang sesuai dengan jabatan yang akan didudukinya; bersedia membuat pernyataan untuk mengalihkan keahliannya kepada tenaga kerja warga negara Indonesia khususnya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) pendamping; dan dapat berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia.
5) Perijinan
Ijin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) diberikan oleh Direktur Pengadaan dan Penggunaan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi kepada pemberi kerja tenaga kerja asing[6], dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk mendapatkan rekomendasi visa (TA-01) dengan melampirkan (Pasal 23) :
  1. Copy Surat Keputusan Pengesahan RPTKA;
  2. Copy paspor TKA yang akan dipekerjakan;
  3. Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
  4. Copy ijasah dan/atau keterangan pengalaman kerja TKA yang akan dipekerjakan;
  5. Copy surat penunjukan tenaga kerja pendamping; dan
  6. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 1 (satu) lembar.
Dalam hal Ditjen Imigrasi telah mengabulkan permohonan visa untuk dapat bekerja atas nama TKA yang bersangkutan dan menerbitkan surat pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa, maka pemberi kerja TKA mengajukan permohonan IMTA dengan melampirkan (Pasal 24):
  1. copy draft perjanjian kerja;
  2. bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
  3. copy polis asuransi;
  4. copy surat pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa; dan
  5. foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 2 (dua) lembar[7].
6) Perpanjangan IMTA
Mengenai perpanjangan Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28. IMTA dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun, bila masa berlaku IMTA belum berakhir. Oleh karena itu permohonan perpanjangan IMTA selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum jangka waktu berlakunya IMTA berakhir. Permohonan perpanjangan IMTA dilakukan dengan mengisi formulir perpanjangan IMTA dengan melampirkan :
  1. Copy IMTA yang masih berlaku;
  2. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
  3. Copy polis asuransi;
  4. Pelatihan kepada TKI pendamping;
  5. Copy keputusan RPTKA yang masih berlaku; dan
  6. Foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
Perpanjangan IMTA diterbitkan oleh :
  1. Direktur untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah propinsi;
  2. Gubernur atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) provinsi;
  3. Bupati/Walikota atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota;
7) IMTA Untuk Pekerjaan Darurat
Pekerjaan yang bersifat darurat atau pekerjaan-pekerjaan yang apabila tidak ditangani secara langsung mengakibatkan kerugian fatal bagi masyarakat umum dan jangka waktunya tidak lebih dari 30 (tiga puluh) hari, yang mana jenis pekerjaan mendesak itu ditetapkan oleh instansi pemerintah yang membidangi sektor usaha yang bersangkutan. Permohonan pengajuan IMTA yang bersifat mendesak ini disampaikan kepada Direktur dengan melampirkan :
  1. Rekomendasi dari instansi pemerintah yang berwenang;
  2. Copy polis asuransi;
  3. Fotocopy paspor TKA yang bersangkutan;
  4. Pasfoto TKA ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;
  5. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui bank yang ditunjuk oleh Menteri; dan
  6. Bukti ijin keimigrasian yang masih berlaku.
8) IMTA Untuk Kawasan Ekonomi Khusus
Untuk memperoleh IMTA bagi TKA yang bekerja di kawasan ekonomi khusus, pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pejabat yang ditunjuk di kawasan ekonomi khusus. Tata cara memperoleh IMTA di kawasan ekonomi khusus mengikuti ketentuan dalam poin 5 (lima).
9) IMTA Untuk Pemegang Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP)
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA pemegang ijin tinggal tetap wajib mengajukan permohonan kepada Direktur dengan melampirkan :
  1. Copy RPTKA yang masih berlaku;
  2. Copy izin tinggal tetap yang masih berlaku;
  3. Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
  4. Copy ijasah atau pengalaman kerja;
  5. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
  6. Copy polis asuransi; dan
  7. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar.
10) IMTA Untuk Pemandu Nyanyi/Karaoke
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA sebagai pemandu nyanyi/karaoke wajib memiliki ijin tertulis dari Direktur. Jangka waktu penggunaan TKA sebagai  pemandu nyanyi/karaoke diberikan paling lama 6 (enam) bulan dan tidak dapat diperpanjang. Untuk menjapatkan ijin pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan IMTA dengan melampirkan :
  1. Copy ijin tempat usaha yang memiliki fasilitas karaoke;
  2. RPTKA yang telas disahkan oleh direktur;
  3. Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
  4. Copy polis asuransi; dan
  5. Perjanjian kerja TKA dengan pemberi kerja.
11) Alih Status
Pemberi kerja TKA instansi pemerintah atau lembaga pemerintah atau badan internasional yang akan memindahkan TKA yang dipekerjakannya ke instansi pemerintah atau lembaga pemerintah atau badan internasional lainnya harus mengajukan permohonan rekomendasi alih status kepada Direktur. Rekomendasi disampaikan kepada Direktur Jenderal Imigrasi untuk perubahan KITAS/KITAP yang digunakan sebagai dasar perubahan IMTA atau penerbitan IMTA baru.
12) Perubahan Nama Pemberi Kerja
Dalam hal pemberi kerja TKA berganti nama, pemberi kerja harus mengajukan permohonan perubahan RPTKA kepada Direktur Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Setelah RPTKA disetujui, Direktur Penyediaan dan penggunaan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan rekomendasi kepada Direktur Jenderal Imigrasi untuk mengubah KITAS/KITAP sebagai dasar perubahan IMTA, dengan terlebih dahulu menyampaikan permohonan dengan melampirkan :
  1. Copy RPTKA yang masih berlaku;
  2. Copy KITAS/KITAP yang masih berlaku;
  3. Copy IMTA yang masih berlaku;
  4. Copy bukti perubahan nama perusahaan yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang.
13) Perubahan lokasi Kerja
Dalam hal pemberi kerja melakukan perubahan lokasi kerja TKA, pemberi kerja wajib mengajukan permohonan perubahan lokasi kerja TKA kepada Direktur Penyediaan dan Penggunaan tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan melampirkan copy RPTKA dan IMTA yang masih berlaku.
14) Pelaporan
Pemberi kerja TKA wajib melaporkan penggunaan TKA dan pendamping TKA di perusahaan secara periodik 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Dirjen. Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota melaporkan IMTA yang diterbitkan secara periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri dengan tembusan kepada Dirjen.
15) Pengawasan
Pengawasan terhadap pemberi kerja yang mempekerjakan TKA dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
16) Pencabutan Ijin
Dalam hal pemberi kerja mempekerjakan TKA tidak sesuai dengan IMTA, Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota berwenang mencabut IMTA.
C. IMPLEMENTASI
Sejak amandemen UUD 1945, asas otonomi daerah mendapatkan posisinya dalam Pasal 18 tentang pemerintah daerah dan dikembangkannya sistem pemerintahan yang desentralistis melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lima hal pokok yang menjadi kewenangan Pusat Menyusul diberlakukannya otonomi daerah ini adalah luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter, kehakiman, dan fiskal. Masalah ketenagakerjaan pun menjadi lingkup kewenangan pemerintah daerah, dengan menempatkannya dalam struktur organisasi dan tata kerja dalam struktur “dinas”.
Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, pengajuan mempergunakan tenaga kerja asing untuk pertama kalinya diajukan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, selanjutnya untuk perpanjangan diajukan dan diberikan oleh Direktur atau Gubernur/Walikota. Kondisi ini telah melahirkan masalah baru di daerah. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Kota Batam, Sebelum diberlakukannya UUK, Pemerintah Daerah melalui seksi penempatan kerja dan tenaga kerja asing memiliki tugas dan wewenang dalam proses pemberian izin tenaga kerja asing di Kota Batam. Akan tetapi setelah diberlakukannya UUK, tugas dan kewenangan seksi tereliminir. Para pengusaha yang akan mempekerjakan tenaga kerja asing pun harus menyeberang pulau menenuju Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Jakarta. Tentu saja dengan mekanisme baru ini membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Apa lagi birokrasi di Kementerian kita masih dinilai negatif; urusan yang mudah justru dipersulit. Kerumitan yang dipandang oleh para pengusaha yang akan meminta izin mempekerjakan tenaga kerja asing ini menjadi sorotan terutama bagi kementerian yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan untuk dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan pelayanan khususnya pemberian izin mempekerjakan tenaga kerja asing[8].
Selanjutnya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan Surat Keputusan Nomor B.388/MEN/TKDN/VI/2005 tanggal 21 Juli 2005 yang telah disosialisasikan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Batam. SK ini pun mendapat tanggapan keras dari kalangan pengusaha di Batam untuk dapat meninjau kembali tentang pengesahan RPTKA. Keberatan lain yang menjadi point penting adalah biaya yang cukup besar untuk mengurus pengajuan dan izin penggunaan tenaga kerja asing. Pengurusan izin penempatan tenaga kerja asing juga muncul sehubungan dengan pendapatan asli daerah (PAD) karena di dalam kaitannya dengan dana kompensasi di Provinsi Jawa Timur terdapat sedikitnya 1400 tenaga kerja asing yang tersebar di wilayah Kabupaten/Kota[9]. Berkaitan dengan keberadaan tenaga kerja asing tersebut maka Pemerintah Provinsi Jawa Timur membuat Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Izin Kerja Perpanjangan Sementara dan Mendesak Bagi tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang; yang substansinya memberikan pembebanan kepada pengguna tenaga kerja asing di Jawa Timur untuk membayar dana kompensasi kepada pemerintah daerah provinsi dan hasil dana kompensasi tersebut dibagi secara proporsional kepada setiap Kabupaten/Kota yang terdapat di wilayah Provinsi Jawa Timur.
Contoh lain terdapat di Kabupaten Bekasi yang sebagian ruang wilayah diperuntukkan bagi kawasan industri, maka dengan didirikannya berbagai perusahaan industri, dampaknya terdapat tenaga kerja asing yang bekerja di perusahaan-perusahaan industri di wilayah Bekasi. Di Kabupaten Bekasi sedikitnya terdapat 1500 tenaga kerja asing, dari jumlah tersebut sebagian besar tenaga kerja asing tersebut berasal dari Korea dan Jepang[10]. Terkait TKA di Kabupaten Bekasi diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2001 tentang Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Asing, salah satu substansi pengaturannya berkaitan dengan kewajiban sertiap warga negara asing yang bekerja di wilayah Kabupaten Bekasi untuk menyetor uang sebesar US$100 per bulan kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi. Secara ekonomis ketentuan tersebut menghasilkan dana untuk pemerintah Kabupaten, karena dimasukkan ke dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bekasi dan secara tidak langsung Mekanisme tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk dari pengawasan tidak langsung, karena setiap bulan akan diketahui berapa jumlah tenaga kerja asing yang ada di Kabupaten Bekasi. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah dana yang Disetor setiap bulan dari para pengusaha kawasan industri di Kabupaten bekasi ke Kas Pemda Bekasi.
Namun demikian menurut Pemda Bekasi keberadaan tenaga kerja asing di Bekasi belum memberikan keuntungan bagi pembangunan di wilayahnya, Salah satu alasannya pemasukan pajak tenaga kerja asing sebesar Rp 23 milyar wajib disetor ke Pemerintah Pusat, karena berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Tahun 2005 dana tersebut merupakan pendapatan non pajak dan hak pemerintah pusat. BPK mengatakan dana tersebut bersumber dari dana pengembangan ketrampilan kerja (DPKK), padahal dana tersebut merupakan uang hasil pungutan dari seluruh tenaga kerja asing yang bekerja di wilayah Bekasi. Perda Nomor 19 Tahun 2001 mempertimbangkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Dalam undang-undang tersebut disebutkan daerah memiliki kewenangan mengatur keberadaan tenaga kerja asing demi pembangunan daerah, hal ini berarti pungutan yang berasal dari tenaga kerja asing seharusnya juga menjadi sumber pendapatan asli daerah. Sedangkan pemerintah Pusat melalui Kementerian Keuangan menyatakan pungutan terhadap tenaga kerja asing sebagai pendapatan non pajak Kementerian Keuangan menyatakan pungutan tersebut harus di setor kepada Pemerintah Pusat.
Dengan demikian terjadi perbedaan pemahaman antara Pusat dan Daerah soal tenaga kerja asing yang dapat menimbulkan permasalahan dan ketidakpastian hukum. Hal tersebut tidak perlu terjadi karena dengan tuntutan instansi/lembaga pemerintah di daerah untuk menjalankan otonomi di daerahnya, dalam rangka ketenagakerjaan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130-67 Tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota. Pada Lampairan Keputusan Mendagri, khususnya Pada Bidang Ketenagakerjaan angka romawi I huruf A: Penempatan dan pendayagunaan, angka 7 : Perizinan dan Pengawasan, perpanjangan izin penggunaan tenaga Kerja asing, disebutkan bahwa kewenangan yang dilimpahkan kepada Kabupaten/Kota adalah :
  1. Penelitian pelengkapan persyaratan perizinan (IKTA);
  2. Analisis jabatan yang akan diisi oleh tenaga kerja asing
  3. Pengecekan kesesuaian jabatan dengan Positif List tenbaga kerja asing yang akan dikeluarkan oleh DEPNAKER;
  4. Pemberian perpanjangan izin (Perpanjangan IMTA);
  5. Pemantauan pelaksanaan kerja tenaga kerja asing; dan
  6. Pemberian rekomendasi IMTA.
Terkait permohonan IKTA dalam rangka penenaman modal asing, didasarkan pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor KEP-105/MEN/1977 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Kerja Bagi tenaga Kerja Asing yang akan bekerja dalam rangka Koordinasi penanaman modal, diatur bahwa IKTA dikeluarkan oleh Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Namun berdasarkan Kepmenaker Nomor KEP-03/MEN/1990 bahwa permohonan IKTA yang diajukan oleh pemohon yang merupakan perusahaan dalam rangka PMA dan PMDN, disampaikan kepada Ketua BKPM (Pasal 9 ayat 2). Kemudian Ketua BKPM atas nama Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan IKTA dengan tembusan disampaikan kepada instansi teknis (Pasal 10 ayat 2 dan 3).
Selanjutnya pengaturan secara teknis tentang tata cara permohonan penyelesaian IKTA bagi perusahaan dalam rangka PMA dan PMDN, wajib menyesuaikan dan mengikuti ketentuan dalam Kepmenaker Nomor KEP-416/MEN/1990 (Pasal 21). Namun berdasarkan Kepmenaker Nomor KEP-169/MEN/2000 tentang Pencabutan Kepmenaker Nomor KEP-105/MEN/1977 Tentang pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Kerja bagi Tenaga Kerja Asing yang akan bekerja dalam rangka Koordinasi Penanaman Modal dan Kepmenaker Nomor KEP-105/MEN/1985 tentang Penunjukan Ketua BKPM untuk mensahkan (RPTKA) dalam rangka penanaman modal, mencabut wewenang pemberian izin kerja (IKTA) oleh Ketua BKPM dalam rangka penanaman modal (sejak tanggal 1 Juli 2000). Selanjutnya pemberian IKTA dilaksanakan oleh Menteri Tenaga Kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. PENUTUP
Berdasarkan uraian terdahulu, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
  1. ketentuan mengenai tenaga kerja asing di Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, tidak diatur lagi dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri seperti dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1958 tentang penempatan tenaga kerja asing, tetapi merupakan bagian dari kompilasi dalam UUK yang baru tersebut. Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing dimuat pada Bab VIII Pasal 42 sampai dengan Pasal 49. Namun demikian untuk dapat melaksanakan undang-undang yang baru masih banyak kendala terutama dalam menggalakkan investasi karena sejumlah peraturan yang melengkapi kelancaran program penggunaan tenaga kerja asing belum siap, sejauh ini baru Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang sudah ada disamping 3 Permenaker yang lain untuk mengisi kekosongan hukum dengan belum terbitnya peraturan-peraturan yang diperlukan maka peraturan yang lama sementara masih diberlakukan.
  2. Penempatan tenaga kerja asing dapat dilakukan setelah pengajuan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) disetujui oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan mengeluarkan izin penggunaan tenaga kerja asing. Untuk dapat bekerja di Indonesia, tenaga kerja asing tersebut harus mempunyai izin tinggal terbatas (KITAS) yang terlebih dahulu harus mempunyai visa untuk bekerja di Indonesia atas nama tenaga kerja asing yang bersangkutan untuk dikeluarkan izinnya oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
  3. Tenaga ahli yang didatangkan dari luar negeri oleh perusahaan pemerintah/swasta hendaknya benar-benar tenaga ahli yang terampil sehingga dapat membatu proses pembangunan ekonomi dan teknologi di Indonesia. Untuk itu proses alih teknologinya kepada TKI baik dalam jalur menajerial maupun profesionalnya harus mendapat pengawasan yang ketat dengan memberikan sertifikasi kepada tenaga ahli tersebut.
 
DAFTAR PUSTAKA
Laporan, “Survey Nasional Tenaga Kerja Asing di Indonesia”, Bank Indonesia, Tahun 2009.
Laporan Akhir Penelitian: Permasalahan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, BPHN, Tahun 2005.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP)
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.HT.04.02 Tahun 1997 Penggunaan Ahli Hukum Warga Negara Asing oleh Kantor Konsultan Hukum Indonesia
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigarasi Nomor 223 Tahun 2003 Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI  Nomor M.09-Pr.07.10 Tahun 2007 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM RI
Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Kompas.com, Dilema Indonesia dalam ACFTA, diakses tanggal 11 Mei 2011
http://www.tempointeraktif.com, diakses tanggal 22 Mei 2011.