Listrik mandiri
Kalau listrik padam, warga Desa
Haurngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat,
tenang-tenang saja. Rumah-rumah di desa itu tetap terang benderang dengan
energi penerangan yang berasal dari biogas. Mereka tidak mengenal istilah
byarpet, seperti kerap dikeluhkan para pelanggan listrik perusahaan negara.
Jika di beberapa daerah lain di Jabar, seperti Pangalengan,
Lembang, atau Sumedang, kondisi instalasi biogas terbengkalai, di Haurngombong
tidaklah demikian. Kepala desanya, Adang (42), malah terjun langsung untuk
menangani masalah instalasi biogas milik warga.
Berkat upaya Adang, dan gotong royong generasi muda di sana, sudah banyak warga
menghasilkan listrik sendiri dari kotoran sapi. Biogas adalah bagian dari
energi terbarukan yang dapat dihasilkan dari limbah peternakan.
Upaya untuk menjadikan Haurngombong sebagai desa mandiri
energi sudah dilakukan sejak 2003. Inovasi dilakukan karena saat itu harga
minyak tanah membubung tinggi. Pada puncaknya, harga minyak tanah pada 2007
sudah mencapai Rp 8.000 per liter. ”Padahal, sebelum konversi energi
diterapkan, harganya hanya sekitar Rp 2.500 per liter. Sudah mahal, minyak
tanah susah pula dapatnya,” kata Adang.
Ketika itu, usaha untuk memenuhi kebutuhan listrik secara
mandiri belum banyak dilakukan di desa-desa. Peralatan yang digunakan di Desa
Haurngombong saat itu masih amat sederhana. ”Penampung gas pakai plastik dan
kompornya dari kaleng bekas. Selangnya juga plastik. Ada hikmahnya juga. Dulu, banyak warga mengeluh
bau kotoran sapi,” katanya. Saat ini kotoran sapi malah diperebutkan warga,
bahkan stoknya kurang.
Penggunaan biogas diintensifkan melalui kerja sama dengan
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung. Respons Unpad sangat baik dengan
memberikan dukungan teknologi biogas dan pembinaan untuk warga. Pada 2007,
jumlah instalasi biogas di Desa Haurngombong sudah mencapai 60 unit.
”Saya sempat tanya, apakah bisa biogas dimasukkan ke dalam
tabung seperti elpiji supaya ringan. Kalau pakai plastik besar sekali, tapi
belum bisa,” katanya.
Listrik mandiri
Haurngombong pun menjadi desa binaan PLN. Desa itu kemudian
menerima 10 generator yang telah dimodifikasi PLN pada 2008 dengan daya
masing-masing sebesar 450 watt. Setiap generator yang menggunakan bahan bakar
biogas itu bisa menghasilkan listrik untuk empat rumah.
”Di Desa Haurngombong memang ada listrik dari PLN, tetapi
kalau terjadi pemadaman, warga tak terlalu repot. Meski belum tentu bisa
menonton televisi, lampu tetap menyala,” katanya.
Desa dengan luas 219 hektar ini berpenduduk sekitar 5.800
orang, terdiri dari 1.500 keluarga. Saat ini hampir 30 persen dari jumlah itu
atau 400 keluarga sudah mampu menghasilkan listrik secara mandiri. ”Target
saya, 1.000 keluarga bisa menghasilkan listrik sendiri. Di Desa Haurngombong
masih banyak kotoran sapi yang belum dimanfaatkan,” katanya.
Tidak perlu peralatan mutakhir untuk membuat instalasi
biogas. Wadah gas dibuat dari plastik. Sejumlah warga sudah menggunakan wadah
yang terbuat dari fiber dan penampung dari beton.
Pada 2008, Adang juga membentuk badan usaha milik desa
Haurngombong yang bergerak di bidang biogas. Usaha dikelola tiga pegawai inti
dan didukung 20 teknisi. Layanan usaha, antara lain, pengadaan instalasi
biogas, penyediaan suku cadang, dan simpan pinjam. Usaha itu juga berfungsi
sebagai sentra komunikasi biogas.
”Kami merasa seperti punya tanggung jawab sosial terhadap
daerah lain yang ingin mengembangkan biogas,” kata Adang.
Semangat desa itu menerapkan penggunaan biogas membuat para
teknisi biogas di Desa Haurngombong kerap dipanggil untuk berbagi ilmu. Mulai
pemerintah pusat hingga sejumlah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia
meminta mereka datang.
”Alhamdulillah. Berkat biogas, teknisi-teknisi kami bisa
jalan-jalan ke berbagai daerah di Indonesia,” kata Adang tertawa
bahagia.
Tak hanya wilayah di Jabar, seperti Kabupaten Tasikmalaya,
Ciamis, Subang, Cianjur, Sukabumi, dan Kuningan, pemerintah daerah lain juga
meminta para teknisi itu berbagi pengalaman, seperti di Semarang,
Palembang, Surabaya,
Yogyakarta, dan Denpasar. ”Padahal, jumlah
teknisi terbatas. Kami sering kewalahan dengan permintaan pengiriman teknisi.
Belum lagi teknisi juga harus bekerja di desa,” kata Adang.
Perlu bengkel
Para teknisi juga diminta memasang instalasi biogas dan melakukan
pemeliharaan. Mereka terpaksa berkeliling ke sejumlah daerah secara bergantian.
Mereka yang hendak belajar dan mau datang langsung ke Desa Haurngombong,
kehadirannya akan diterima dengan senang hati.
Pihak pemerintah daerah yang pernah berkunjung ke Desa
Haurngombong, antara lain, dari Provinsi Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Banten, dan Kepulauan Bangka Belitung.
Selain tentang biogas, usaha Desa Haurngombong juga
bertujuan memberdayakan pemuda desa yang terkena pemutusan hubungan kerja dan
miskin. Mereka, antara lain, bisa berperan sebagai petugas pemasangan
instalasi, perbaikan, dan pemantau.
Masyarakat Desa Haurngombong yang menggunakan instalasi
biogas hanya dikenai iuran Rp 7.500 per bulan. Jika instalasi rusak, warga bisa
melaporkannya kepada teknisi. Jika kerusakan masih tergolong ringan dan tak
memerlukan suku cadang, warga tidak dipungut biaya.
Adang bertekad mengembangkan usaha Desa Haurngombong yang
kini masih berskala kecil. Karena itu, jika dapat diperoleh, bantuan permodalan
akan sangat membantu.
”Kira-kira masih butuh modal Rp 400 juta, antara lain untuk
pengadaan cadangan instalasi, pelatihan, dan perlengkapan sekretariat,”
tuturnya. Adang dan sejumlah warga desa juga berencana membuka bengkel kerja
yang bisa membuat instalasi biogas sendiri dan menyediakan suku cadangnya.
”Jika bengkel itu bisa terwujud, kami bisa bikin usaha
pemberdayaan desa. Kami juga bisa lebih tenang mengirimkan teknisi ke
daerah-daerah yang membutuhkan,” katanya.
Jumlah peternak sapi di Desa Haurngombong sekitar 210
orang. Adapun populasi sapi di sana
sebanyak 892 ekor. Peternak yang punya banyak sapi, jumlah ternaknya bisa
mencapai 12 ekor.
”Pegangan usaha kami sederhana saja. Selama sapi masih
buang kotoran, usaha masih bisa jalan…,” ujar Adang. Dia telah membuktikan
bahwa masyarakat bisa memberdayakan dirinya sendiri tanpa banyak kata-kata atau
hebat di wacana.
Sumber: KOMPAS Cetak
0 komentar:
Post a Comment