BAHASA JAWA VS BAHASA INGGRIS
‘ Bapakku
gendut pinter utekke.’
Begitulah sebait puisi berbahasa daerah yang disusun dan dibaca anak saya yang duduk
di sekolah menengah. Saya kaget mendengar puisi yang dibacanya karena kata yang
dipilihnya terasa kasar sekalipun mungkin untuk mengungkapkan sebuah perasaan
dalam wacana seni tidak salah. Dari sanalah saya merasa bahwa kearifan lokal sebagai
khasanah kekayaan budaya berupa bahasa daerah perlu dilestarikan agar ke depan
generasi mendatang terutama anak-anak kita tidak tergerus jaman kemudian lupa
pada jati dirinya.
Keprihatinan tersebut dirasakan oleh para
Guru Bahasa Daerah juga ketika belakangan ini ramai dbicarakan masalah wacana
penghapusan Bahasa Deerah dalam kurikulum 2013. Melalui berbagai audiensi dan
pembahasan akhirnya bahasa daerah direncanakan tetap diberikan pada para
pelajar dari jenjang Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Hal ini merupakan
angin segar baio para guru khususnya para guru pengampu mata pelajaan tersebut.
Mengapa demikian ? karena bila Mata
Pelajaran Bahasa Daerah (bila di Jawa Tengah Bahasa Jawa) dihapus atau tidak
diberikan di sekolah, maka dampaknya bagi guru yang telah mendapat tunjangan sertifikasi
harus beralih mengajar mata pelajaran lain dan harus mengikuti pelatihan lagi.
Sebenarnya masalahnya tidak hanya seperti itu, tetapi bisa jadi suatu ketika anak kita yang keturunan
Orang Jawa harus ke luar negeri untuk mempelajari bahasanya sendiri karena
tidak pernah mendapatklan pengetahuan maupun pelajaran tentang Bahasa Jawa.
Saya lebih prihatin dan khawatir ketika
melihat nilai rapor anak saya, di mana nilai bahasa Inggris lebih baik dari
pada Bahasa Daerah (Jawa). Keprihatian saya karena Bahasa daerah yang relatip
lebih sering digunakan namun ternyata capaian nilai akademisnya jelek. Dapat dikatakan
bahasa Bahasa Jawa adalah Bahasa Ibu yang digunakan sebagai bahasa pengantar
sehari hari. Sedangkan Bahasa Inggris dipelajari semata mata hanya untuk
mengejar nila tuntas agar bisa naik kelas.
Sedangkan kekhawatiran saya jangan
-jangan natinya anak saya tidak memiliki ‘rasa jawa’, atau unggah ungguh
orang Jawa bahkan ‘lupa jawanya’ sehingga tidak njawani.
Ketika saya tanyakan kepada anak saya,
ternyata gejala ini juga dialami oleh teman- temannya. Sebagian orang tuapun
juga merasakan demikian . Kita sebagai orang tua merasa kesulitan ketika
mengajari anak untuk menggunakan Bahasa Jawa ‘halus’ atau Kromo Inggil.
Jangankan Kromo Inggil, Kromo Madyo saja sulitnya bukan main. Hal ini
terlihat bila ia berkomunikasi dengan orang yang lebih tua selalu dirinya yang ‘diangkat’
atau ‘ditinggikan’ . Misalnya ia mengatakan:’ Kulo bade dahar rumiyin’. ‘Bapak
nembe pakpung’ . ‘Ibu nembe tilem wonten kamar’.’ Kulo tak tindak
rumiyin njih’ dan sebagainya.
Di balik kepriharinan tersebut jujur saya
senang karena nilai Bahasa Inggris anak
saya lumayan bagus. Hal tersebut bukan karena bapaknya guru Bahasa Inggris,
namun menurut anak saya Bahasa Inggris lebih mudah dipelajari dan tata
bahasanya tidak bertele tele, asalkan formulasinya sudah dipahami, maka akan
mudah mengerjakan soal Bahasa Inggris yang dihadapinya. Bahasa Inggris mengenal
tenses/ perubahaan kata kerja namun tidak ada tingkatan kata kerja yang
dipengaruhi oleh pelaku atau subyeknya seperti dalam Bahasa Jawa. Tingkatan dalam
Bahasa Inggris memang ada yakni pada tingkat perbandingan atau degree of
comparison yang formulasinya gampang diingat dan kata pengecualiannya
relatip sedikit.
Lantas siapa yang salah? Tidak ada yang
dapat disalahkan karena lingkunganlah yang membentuk dirinya . Saya sebagai
orang tua juga ikut andil dalam keadaan
tersebut . Menagapa? Karena ketika masih balita saya tidak pernah membiasakan
kepadanya agar selalu menggunakan Kromo Inggil bila anak bicara dengan
orang tuanya. Tetapi bila hal itu dilakukan kiranya juga kurang efektip.
Pengalaman saya adalah ketika di Sekolah Menengah Pertama dulu saya senang
dengan Bahasa Inggris karena orang tua saya dulu khususnya ibu ketika
berkomunikasi dengan ayah sering menggunakan Bahasa Inggris walaupun sepatah
dua patah kata. Misalkan, Kang mas eating dulu. Monggo kang mas
bathing dulu dan sebagainya.
Adapula nasihat orang kita dulu bahwa
apabila kita ingin anak kita nanti
terbiasa berbicara dengan Bahasa Jawa halus atau Kromo Inggil maka orang
tua khususnya ibu juga harus menggunakan Kromo Inggil ketika
berkomunikasi dengan orang tuanya ataupun suaminya. Melalui contoh tersebut
maka anak akan merekam dan secara tidak sadar telah mendapat banyak kosa kata
dan mamapu menggunakan bahasa daerah yang baik dan benar. Semoga cucu kita
nanti tidak lupa dengan bahasanya sendiri dan tidak ‘diutek utekke’ sama
cucu.
0 komentar:
Post a Comment